BBM Bioetanol, Tarif Lebih Mahal untuk Rakyat atau Para Kapital?




Bintang baru di dunia BBM diluncurkan bulan ini oleh Pertamina, Bioetanol dan terus menjadi pembicaraan hangat semua kalangan. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan,”Untuk bioetanol ini adalah campuran antara Pertamax dengan etanol.” (Jambiekspres.co.id, 11/6/2023).


Pakar bioenergi ITB Prof. Tatang Hernas Soerawidjaja mengapresiasi langkah Presiden dan menyatakan campuran bioetanol dapat menjadi solusi pengurangan tekanan impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia. “Apabila kita mengambil contoh kesuksesan penggunaan substitusi impor diesel dengan program Biodiesel, maka kita juga dapat mengurangi tekanan impor bensin yang jauh lebih besar porsinya dibandingkan bahan bakar jenis diesel,” kata Tatang.


Hasil riset ITB menunjukkan Indonesia telah menghemat devisa sebesar US$2.6 milyar dari substitusi impor diesel melalui program Biodiesel kelapa sawit. Di sisi lain, laporan ITB memproyeksikan Indonesia akan mengimpor hingga 35.6 juta kiloliter pada 2040 atau hampir dua kali lipat dari jumlah impor bahan bakar minyak tahun 2021.


Penggunaan bioetanol sebagai bahan campuran BBM diklaim dapat menurunkan impor BBM jenis bensin, menurunkan polutan emisi kendaraan, dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioetanol. Manfaat lain bioetanol adalah potensi pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43% termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5 dan meningkatkan bauran energi terbarukan Indonesia yang ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025.


Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan sebesar (RON) 128, sehingga pencampuran dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM. Meskipun bioetanol memiliki potensi besar, masih terdapat tantangan dalam pengimplementasiannya sebagai campuran bensin utamanya rendahnya produksi bioetanol di Indonesia. Sehingga kemungkinan akan diuji cobakan di Surabaya dan sekitarnya saja dulu.


Pencampuran bioetanol sejatinya telah diujicobakan dengan kandungan 2% (E2) di Jawa Timur pada tahun 2018, namun hasil menunjukan harga BBM campuran bioetanol masih sedikit diatas harga BBM non-PSO. Mutu dan harganya bisa setara Pertamax. Lantas untuk siapa produk ini dijual ke pasaran? Namun diyakini , dengan meningkatnya harga BBM dan pentingnya upaya peningkatan ketahanan energi, re-introduksi BBM campuran bioetanol kembali menjadi isu strategis.


Kementerian ESDM telah mengkonsolidasikan beberapa produsen etanol yang tergabung dalam Asosiasi Penyalur Spiritus dan Ethanol Indonesia (Apsendo) menyusul rencana Pertamina untuk mengedarkan BBM jenis baru dari campuran Pertamax dengan bahan bakar nabati bioetanol pada bulan ini. Langkah tersebut ditujukan untuk menjamin kepastian produksi BBM bioetanol tidak mengganggu suplai tetes tebu untuk industri pangan, khususnya gula (Katadata.co.id, 9/6/2023).


Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa saat ini terdapat sebelas badan usaha bahan bakar nabati atau BU BBN penghasil etanol yang tergabung dalam Apsendo. Gabungan sebelas BU BBN itu sanggup memproduksi etanol hingga potensi kapasitas 337.500 kiloliter (KL). Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dari selisih kemampuan produksi bioetanol domestik untuk bahan bakar kendaraan atau fuel grade dari tiga produsen berkapasitas 63.000 KL. “Jadi tidak ada kekhawatiran bahwa program Bioetanol akan mengganggu sektor pangan,” kata Dadan lewat pesan singkat pada Jumat (9/6).


BBM Bioetanol: Mampukah Mengatasi Kebutuhan Energi Rakyat secara Berkelanjutan?


Produksi bioetanol diklaim untuk mengurangi impor dan lebih ramah lingkungan. Demikian pula teknologinya sederhana dan dapat dikerjakan oleh siapa saja. Namun mengingat harganya lebih mahal dari Pertamax. Muncul pertanyaan, kebijakan ini untuk siapa jika rakyat justru terbebani? Kenaikan BBM yang terkadang belum satu tahun sudah naik lagi, telah cukup memberi dampak pada nasib rakyat. 


Jika mengingat proyek masa lalu bioetanol dengan sumber bijih jarak yang mangkrak, muncul pertanyaan akan keberlanjutan program ini. Demikian juga berbagai persoalan yang muncul sebagai dampak penngunaan bioethanol ini.


Islam mewajibkan negara untuk membuat kebijakan yang memudahkan hidup rakyatnya, karena negara adalah sebagai Ra’in. Demikian pula kebijakan negara akan menjalani perencanaan matang yang melibatkan para ahli, sehingga benar-benar membawa manfaat untuk rakyat dan aman untuk lingkungan. Wallahu a’lam bish showab.


Komentar

Postingan Populer