Harga Beras Mahal, Menuju Indonesia Emas, Petani Cemas



Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal daripada harga beras di pasar global, bahkan tertinggi di kawasan ASEAN. Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk menilai tingginya harga beras ini terjadi karena beberapa hal, seperti kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor dan kenaikan biaya produksi hingga pengetatan tata niaga melalui non tarif. Kebijakan yang mendistorsi harga ini menaikkan harga produk dan mengurangi daya saing pertanian (KOMPAS.com, 21-9-2024).


Carolyn Dalam Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua, Bali, Jumat (20/9/2024), juga menyoroti tingginya harga beras dalam negeri tak sebanding dengan pendapatan petani lokal.


Menurutnya, Bank Dunia mencatat, saat ini hanya 31 persen penduduk Indonesia yang mampu mendapatkan makanan sehat lantaran sulit membeli makanan bergizi seperti daging, telur, ikan dan sayuran. Ditambah dengan kenaikan harga beras semakin mempersulit konsumen miskin di Indonesia untuk membeli makanan bergizi.


Carolyn menegaskan seharusnya fakta ini menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan. Pasalnya Indonesia sendiri memiliki ambisi untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.


Setidaknya, pemerintah harus sudah ada langkah awal yang perlu diambil yaitu memastikan keterjangkauan harga pangan khususnya beras sebagai salah satu sumber gizi bagi pembentukan sumber daya manusia (SDM).


Kapitalisme, Harga Beras Turun Adalah Ilusi


Menurut hasil Survei Pertanian Terpadu, Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari 1 dollar AS atau Rp 15.199 per hari. Sementara, pendapatan petani per tahun hanya mencapai 341 dollar AS atau Rp 5,2 juta. Pendapatan petani beras jauh lebih rendah dibandingkan dengan tanaman perkebunan atau pertanian hortikultura.


Padahal di jalur distribusi, konsumen malah membayar harga beras dengan harga tinggi, jelas negeri ini akan menghadapi dampak lebih serius bagi masyarakat luas.


Apa yang disebut Carolyn di atas memang sesuai fakta, perhatian dunia kepada Indonesia juga cukup menyentuh simpati, tapi menjadi pesimis jika melihat upaya pemerintah yang tak sebanding. Banyak pihak dan banyak faktor yang sebenarnya menjadi pemberat mengapa harga beras semakin mahal.


Dari sisi produksi, petani menghadapi persoalan tak sekadar harga pupuk, bibit, peralatan atau upah pekerja yang tinggi, tapi juga alih fungsi lahan yang serampangan. Banyak lahan yang dibebaskan dengan alasan untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Rakyat yang terdampak tidak mendapatkan ganti rugi yang sepadan.


Contoh nyata adalah program lumbung pangan yang dicanangkan pemerintah guna mewujudkan ketahanan pangan di Kalimantan dan Merauke, Papua Selatan. Meninggalkan luka mendalam bagi rakyat adat, sebab selain merusak ruang hidup mereka juga menyebabkan persoalan sosial lainnya yaitu kehilangan mata pencaharian asli mereka. Belum lagi kerusakan ekosistem, padahal keberhasilan panen tidak terjadi. Negara pun tetap impor beras.


Sektor pertanian juga dikuasai oligarki dari hulu hingga hilir. Sementara negara tidak memberikan bantuan kepada petani, petani harus mandiri terlebih petani yang sedikit modal. Para tengkulak sudah siap dipenghujung panen, membeli hasil panen petani dengan harga yang murah, bahkan tak sebanding dengan biaya produksi yang sudah dikeluarkan.


Saking sedihnya, banyak video maupun berita di media massa yang menunjukkan petani menangis sambil membuang hasil panen mereka, dan meminta pemerintah untuk memperbaiki mereka, setidaknya ada sedikit pengganti biaya produksi mereka, sebab hasil panen mereka bukan hanya merugikan tapi tak lagi karena anjloknya harga jual.


Di sisi lain, negara sedang melakukan pembatasan impor beras sehingga ketersediaan beras juga lebih sedikit berakibat harga makin mahal. Banyak ritel-ritel yang menguasai bisnis beras yang dapat memainkan harga.


Bukannya menggali lebih serius lagi solusi terbaik, pemerintah malah menyerukan diversifikasi pangan, dengan mengganti bahan makan pokok beras dengan singkong, ubi dan palawija lainnya, pernahkah mereka simpati dan memberikan contoh lebih dahulu dengan membiasakan dalam menu sarapannya selain roti dan beras?


Dan adakah bantuan dunia global lebih dari sekadar memberikan informasi dan dana-dana bantuan (baca: utang)? Semua hanya teori di atas kertas, karena mereka juga negara pengemban kapitalis yang tak akan pernah berpikir jauh dari bisnis dan untung rugi.


Situasi ini berpeluang untuk mendorong dibukanya keran impor beras yang akan makin menguntungkan oligarki dan menyengsarakan petani. Inilah buah penerapan sistem kapitalisme, di mana negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator dan berpihak kepada oligarki.


Dibuatlah payung hukum, salah satunya UU Omnibuslaw yang mempermudah urusan para pemodal bermain dari hulu hingga hilir, ini jelas sangat berbahaya, ketahanan pangan butuh kedaulatan pangan. Jika para pemodal itu yang berkuasa mengatur urusan pangan, padahal mindset mereka hanya sebatas untung rugi pebisnis, maka sudah pasti, kesejahteraan petani apalagi rakyat Indonesia tidak akan tercapai.


Masih yakin bisa meraih Indonesia emas, sementara sumber daya manusianya malnutrisi karena harga pangan kebutuhan pokok yang kian tak terakses dengan mudah. Kapitalisme hanya menjanjikan ilusi, bagaimana seharusnya?


Islam Solusi Terwujudnya Ketahanan Pangan


Negara sebagai pihak penyelenggara urusan rakyat, seharusnya menyediakan lahan untuk ketahanan pangan (beras), pupuk yang terjangkau, pengadaan alat-alat pendukung untuk pertanian yang canggih, serta pengembangan bibit unggul dan meningkatkan kemampuan petani sehingga makin ahli.


Negara Islam menempatkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai salah satu basis pertahanan negara dan basis menyejahterakan rakyatnya. Tentu dengan cara menerapkan sistem ekonomi Islam, dan dengan dukungan sistem lain dalam bingkai penerapan Islam kafah.


Hanya Islam yang akan melahirkan pemimpin yang cinta rakyatnya, bekerja dengan melayani sepenuh hati sebagaimana sabda Rasulullah Saw. ,”Imam (Khalifah) adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawa-ban atas orang yang dia pimpin” (HR al-Bukhari).


Sejarah mencatat, Khilafah fokus mengembangkan iklim yang kondusif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi, termasuk di bidang pertanian. Banyak laboratorium dibangun, begitu pula perpustakaan dan lahan- lahan percobaan. Para ilmuwan diberi berbagai dukungan yang diperlukan, termasuk dana penelitian, selain penghargaan atas karya mereka.


Terbukti kemudian banyak terlahir ilmuwan pelopor di bidang pertanian. Misalnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad Ibn Al- Awwan, tinggal di Seville. Ia menulis buku Kitab al-Fildhah yang menjelaskan rincian tentang hampir 600 jenis tanaman dan budidaya 50 jenis buah-buahan, hama dan penyakit serta penanggulanganya, teknik mengolah tanah: sifat-sifat tanah, karakteristik dan tanaman yang cocok; juga tentang kompos.


Ada juga Abu al- Khair, seorang ahli pertanian abad ke-12 di Spanyol. Ia menulis dan menjelaskan empat cara untuk menampung air hujan dan membuat perairan buatan. Khair menegaskan perlunya penggunaan air hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun dengan cara stek, juga tentang menguraikan teknik pembuatan gula dari tebu.


Artinya, dukungan negara tidak setengah hati, saatnya kita mewujudkan peradaban emas dengan kembali kepada pengaturan syariat Islam yang mulia dan membuang kapitalisme selamanya. Wallahualam bissawab.


Komentar

Postingan Populer