Kapitalisasi Fungsi, Umbar Nafsu demi Status




Dilansir CNN Indonesia, 29 Juni 2023, sebuah kelompok kolektif seni di New York, Amerika Serikat bernama MSCHF membuat sebuah karya unik dan terbilang fantastis, baik ukuran maupun harganya. Karya itu berupa tas tangan berwarna kuning, sekecil butiran debu , tepatnya ukuran lebar kurang dari 0,03 inci, berdesain monogram Louis Vuitton dan terjual seharga US$63 ribu atau sekitar Rp944,4 juta dalam sebuah lelang.


Tas ini dijuluki ‘Microscopic Handbag’. MSCHF mengklaim bahwa tas ini bisa melewati lubang jarum dan lebih kecil dari sebutir garam laut. Objek itu dibuat menggunakan polimerisasi foton, sebuah teknologi manufaktur yang digunakan untuk mencetak komponen plastik skala mikro 3D.


Tas tersebut dijual bersama dengan mikroskop yang dilengkapi dengan tampilan digital. Tujuannya, agar tas tersebut bisa terlihat. Desain tas ini terinspirasi dari tas jinjing OnTheGo yang dirilis Louis Vuitton. Saat ini, tas tersebut dijual dengan kisaran harga US$3.100 (Rp46,5 juta) hingga US$4.300 (Rp64,5 juta.


Pelelangan tersebut diselenggarakan oleh Joopiter, sebuah rumah lelang daring yang didirikan oleh musisi sekaligus salah satu direktur kreatif Louis Vuitton Pharrell Williams. “Pharrel menyukai topi besar, jadi kami membuatnya menjadi tas yang sangat kecil,” ujar Kepala Kreatif MSCHF Kevin Wiesner.


Lewat karya ini, MSCHF berkomentar bahwa kecintaan industri mode terhadap handbag telah membuatnya ‘semakin abstrak’ hingga aksesori tersebut menjadi penanda merek tertentu. Artinya, banyak pecinta fesyen yang tak peduli pada fungsi handbag sesungguhnya, melainkan mengejar kebanggaan menggunakan merek mewah tertentu.


“Microscopic Handbag membawa ini ke kesimpulan yang logis. Benda praktis [seperti handbag] melebur menjadi perhiasan, semua fungsinya jadi menguap,” tulis MSCHF.


Kapitalisme : Kebahagiaan Berstandar Ganda


Hari ini hampir semua benda telah tersentuh kecanggihan teknologi. Lepas dari apakah bermanfaat bagi manusia ataukah tidak. Baru-baru ini yang begitu viral adalah kecerdasan buatan (AI) yang merambah hampir semua aspek kehidupan masyarakat, mulai dari mengerjakan skripsi, skrining plagiat,embuat efek gerakan video beserta editannya bahkan hingga digunakan tindak penipuan melalui video call.


Standar kebahagiaan dan sukses pun bergeser, bukan lagi amal baik, ada sopan santun, ramah tamah atau karakter-karakter baik yang dahulunya tumbuh di tengah masyarakat sebagai kearifan lokal. Melainkan bagaimana tampak “wah” di hadapan manusia lain. Sebab bahagia dan sukses era hari ini adalah, viral, tenar, banyak uang, memiliki kemudahan akses dalam berbagai hal dan yang paling penting, berkuasa dan bisa menguasai orang lain dengan pengaruh dan hartanya.


Cara pandang itu secara perlahan namun pasti merubah perilaku seseorang. Bahkan parahnya, dijadikan sebagai komoditas bak barang dagangan. Yang tadinya hanya kebutuhan tersier menjadi seolah-olah primer. Yang tadinya kepemilikan umum menjadi unlimitid dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Dan ada banyak bukti produksi barang ataupun jasa yang diklaim eksklusif hanya terbatas untuk kalangan tertentu dan harganya fantastis.


Seperti komplek pemakaman khusus, makanan yang dihidangkan dari emas, sepatu merk tertentu yang hanya diproduksi sekian biji di dunia, kardus kotak makan bergambar dan bertanda tangan oppa Korea dan lain sebagainya. Seolah-olah jika bisa mendapatkan barang ekslusif tersebut sudah istimewa dan berhak disebut orang beruntung. Sangat rendah sekali, melenceng jauh dari pemahaman yang benar tentang hakikat kebahagiaan itu sendiri.


Dampaknya: Persaingan Bak di Hutan Rimba


Sebagai dampaknya, muncullah kesenjangan sosial hingga kecemburuan, mereka yang terbatas merasa tak beruntung, sementara yang mampu semena-mena. Muncullah istilah “ The Mighty is Right” yang berkuasa yang benar. Sementara yang lemah meski benar tetaplah salah.


Bahkan lebih parahnya mati hati, dan tak menyentuh persoalan mendasar yang dialami masyarakat kebanyakan yaitu kemiskinan ekstrem. Manusia hanya memenuhi gaya hidup hedonis, lupa bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban. 


Kondisi seperti ini jelas tak sehat, bagaimana pun manusia tercipta lemah dan terbatas. Sekaya-kayanya manusia tak akan mampu menguasai dunia kecuali dengan kekejian dan penindasan. Namun dalam kapitalisme itu adalah hal wajar, satu individu sah memiliki harta yang statusnya adalah kepemilikan umum. Dilindungi undang-undang dan dimudahkan penguasanya.


Lebih jauh lagi, jadilah penderitaan yang berkepanjangan, baik sumber daya alam maupun sosial masyarakat. Adakah solusinya?


Islam : Kebahagiaan dan Sukses Hakiki


Allah SWT berfirman yang artinya,”Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (QS. Al Hasyr: 7).


Maknanya harus ada kepemimpinan yang mewujudkan keadilan dalam hal kesejahteraan, dengan cara mengurusi apa yang menjadi hak rakyat, negara dan individu. Tak kan dibiarkan produksi barang dan jasa semata-mata hanya memperturutkan prestise tanpa ada fungsi dan maslahat umat.


Ketakwaan rakyat akan terus dibina agar segala perilaku bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, termasuk harta yang diperoleh dan dibelanjakan. Boros dan berlebih-lebihan sangat diharamkan. Hal ini hanya bisa terjadi di dalam sistem Islam dan bukan kapitalisme. Islam tidak melarang setiap orang menikmati kekayaan, namun harus bertanggung jawab, bukan untuk pencitraan atau gengsi semata. Wallahu a’lam bish showab.


Komentar

Postingan Populer