Saatnya Tiba, Burung Kecil itu Harus Terbang Sendiri



Dulu, ketika di beranda medsos ada video orangtua mengantar anaknya ke pondok, melihatnya juga sedih. Tak jarang airmata ikut menetes, membayangkan beratnya berpisah dengan anak. Terlebih bagi seorang ibu, yang sejak dari kandungan selalu bersama, demi ilmu dan demi masa depan lebih baik, perpisahan itu kadang harus dihadapi.

Namun ternyata, setelah mengalami sendiri, rasanya lebih berat. Airmata memang tak jatuh, namun hati berusaha sekuat tenaga menutupi agar sedih tak nampak. Takut mengurangi semangat anak yang sedang mencoba belajar terbang dengan sayapnya sendiri.

Bagai seekor anak burung, sejak telur menetas selalu disuapi induknya. Hari demi hari, bulu-bulu halusnya berubah menjadi buku kasar, ototnya menguat dan tibalah saatnya untuk terbang.

Memang bukan ke pondok pesantren, hanya untuk berangkat kos sebelum ia mulai perkuliahan. Namun, inilah pertama kali ia lebih lama tidak serumah dengan kami ayah ibunya selain acara persami atau Pramuka. Sedih? Iya, kekhawatiran merebak, bagaimana makannya, tidurnya, kalau sakit? Kalau lapar? Dan lain sebagainya.

Hai! Seketika diri ini tersadar, ia telah tumbuh dewasa, laki-laki kecil yang dahulu menyusu padamu telah menjadi laki-laki tegap, tingginya pun menjulang melebihi ayahnya. Ototnya kuat, otaknya cermat, dan tenaganya cekatan. Sebagaimana burung kecil, inilah saatnya terbang sendiri, menguji kekuatan angin dengan sayap kecilnya, anugerah dari Sang Kuasa.

Jika tidak sekarang, kapan lagi? Bagaimana ia tahu eloknya angin yang menyisir helaian buku sayapnya? Seberapa dingin desiran angin jika mendung mulai merebak, gerimis mulai menghujan?

Meski kita mengira bekal kita buatnya mungkin kurang, namun ia tak sendiri, melalui lantunan doa kita, Allah SWT akan senantiasa memudahkan langkahnya. Ah, lebay, itulah pasti kata-kata yang terucap dari orangtua yang sudah terbiasa dengan mengantar anak ke pondok, atau yang tak hanya sekali mengalami perpisahan karena buah hatinya lebih dari satu. Tapi percayalah, pengalaman pertama adalah segalanya. Mungkin kelak kami juga akan terbiasa pada waktunya.

Saya dan suami sejak sekolah menengah pertama sudah kos, karena letak rumah berjauhan dengan sekolah, atau karena urusan pekerjaan. Beda orang beda cerita, saya sendiri saat pertama kali harus tidur tanpa orangtua sangat tersiksa, kangen sepanjang malam sehingga tak berhenti menangis. Seiring dengan semakin tinggi sekolah, bahkan saat lanjut kuliah, kos bisa sangat menyenangkan. Sebab sudah mulai sibuk dengan berbagai kegiatan baik sekolah maupun sosialisasi lainnya.

Dulu sih, struggle saja, kenapa sekarang melihat anak seperti rasa tak tega? Terlebih ketika memilih kos-kosan yang murah, aman dan nyaman. Memang tidak mungkin senyaman rumah,namun ada yang sangat asal-asalan, seolah kos hanya menjadi tempat numpang tidur. Padahal bisa jadi, kos adalah tempat anak tinggal hingga dia lulus kuliah.

Selalu berkebalikan, kalau bagus harga mahal, kalau murah seadanya, alias tak layak baik kondisi kamar maupun lingkungannya. Jadi teringat bagaimana para Khalifah menjamu” tamu-tamu” yang datang ke kota-kota negara khilafah dan kehabisan uang serta perbekalan.

Prof Raghib as-Sirjani menguraikan di dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2011), sistem perhotelan atau yang lebih dikenal dengan sebutan funduq telah ada pada masa kejayaan Islam, namun bukan dengan konsep kapitalisme sebagaimana hari ini . Funduq yang dibangun berdasar aturan syariat tersebar di sepanjang jalur perniagaan antara kota-kota Islam menyediakan makanan dan minuman cuma-cuma kepada para fakir miskin dan ibnu sabil.

Funduq dinamakan pula sebagai rumah perjamuan (dar adh-dhiyafah). Malahan, ada cukup banyak hotel yang berfungsi khusus menampung para pengelana yang miskin atau kehabisan bekal. Hal itu seperti kelanjutan dari mekanisme Suffah di sekitar Masjid Nabawi pada zaman Nabi SAW. Darimana negara khilafah mendapatkan harta hingga bisa menggratiskan pelayanan Funduq?

Tentulah berasal dari Baitul mal, badan kas negara. Terdiri dari tiga pos besar, yaitu pos kepemilikan negara, kepemilikan umum dan pos zakat. Ada banyak contoh funduq. Sebut saja, yang dibangun Khalifah al-Mustansir Billah dan Amir Nuruddin Mahmud. Dan Funduq tidak dikhususkan bagi Muslim saja, namun musafir non Muslim boleh juga.

Beda pula jika si Mussafir itu adalah mahasiswa, maka setiap bangunan universitas selain dilengkapi perpustakaan, laboratorium juga asrama gratis. Konsepnya adalah memudahkan dan melayani. Sebab, pendidikan adalah Soko guru peradaban, jika mahasiswa mudah dan nyaman dalam menuntut ilmu, tentulah akan lebih mudah lagi menyerap ilmu pengetahuan.

Sungguh, tidak salah jika merindukan pengaturan dalam sistem Khilafah. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kos-kosan seperti tempat berkumpulnya judi, zina, transaksi narkoba dan lainnya akan hilang. Begitupun bagi mahasiswa luar pulau.

Wahai anakku, ibu tak akan memberatkan langkahmu menggapai cita-cita, doa ibu akan senantiasa menyertaimu, sembari teruslah mendekat kepada Allah SWT agar hati dan pikiran dijaga dari hal-hal yang membelokkan targetmu.

Tetaplah kajian Islam dan dakwahkan, agar dunia tahu betapa indahnya Islam ketika mengatur urusan manusia. Jika ada yang meragukan dan berkata hari ini sudah baik, percayalah, mereka belum paham, jangan patah semangat, artinya mereka didekatkan kepadamu untuk menjadi pahala jariyahmu. Wallahu a’lam bi showab.


Komentar

Postingan Populer