Negeri Damai, Dimana itu?
Beberapa Minggu ini masyarakat Indonesia digoyang berita kriminalisasi
spektakuler, yaitu kasus Ferdi Sambo yang sukses semakin menurunkan tingkat kepercayaan
masyarakat kepada lembaga kepolisian, sebagai
lembaga terburuk di antara lembaga lainnya.
Dari mulai kasus korupsi, jual beli jabatan, perselingkuhan , hubungan
sesama jenis, depresi dan lainnya, berputar semakin liar karena banyaknya media
yang mengunggah berita asal-asalan. Seperti biasa demi konten dan rating, hingga
menggunakan berita atau data yang sebagian
besar hoax namun seupil fakta. Terlihat kejam, seolah media massa tak peduli dengan
dampaknya di masyarakat.
Kalau polisinya begitu bagaimana rakyatnya? Kemana meminta rasa aman?
Dari segi pendidikan juga. Berita terbaru tertangkap tangganya rektor UNILA oleh
KPK, karena terbukti menerima suap diluar biaya yang seharusnya. Dunia tahu sama
tahu, tak akan ada berita muncul jika tidak ada yang melaporkan. Sebab, suap menyuap
di dunia pendidikan hari ini sudah menggurita, dari TK hingga perguruan tinggi.
Mengapa sekolah anu, sekolah ini tak ada berita? Ada dua kemungkinan,
pertama ada media yang disuap supaya tidak jadi berita atau bekingan lembaga tersebut
kuat, biasanya dijamin oleh orang yang punya kekuasaan. Mahalnya biaya sekolah,
sistem penerimaan zonasi yang tidak berkeadilan berikut tidak meratanya sarana dan
prasarana pendidikan memunculkan celah bagi oknum wali murid dan guru sendiri untuk
melakukan praktik suap.
Jika gurunya begitu, bagaimana dengan anak-anak generasi penerusnya?
Pun di dunia perbisnisan, meski beberapa stafnya berbeda pendapat Presiden Joko
Widodo dan Menteri Maritim Kelautan dan investasi,
Luhut Binsar Panjaitan ketika mengumumkan BBM bakal naik Lagi. Tak peduli bagaimana
rakyat pontang-panting, karena selain mahal, BBM langka untuk yang pertalite.
Padahal BBM adalah kebutuhan rakyat setiap hari, yang jika tidak
tersedia maka rakyat akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika kepala
keluarga sulit mendapatkan bahan bakar, sehingga tidak bisa memenuhi nafkah wajibnya.
Maka ketahanan keluarga jadi rapuh, anak akan jadi korban, selain karena kurang
kasih sayang, si ibu terpaksa bekerja demikian pula angka terpenuhinya gizi akan
mengalami penurunan, angka stunting dan kurang gizi meningkat.
Jika negaranya sudah gagal menjamin seutuhnya kebutuhan rakyatnya
bagaiamana bisa dikatakan sejahtera. Padahal, sejahtera menjadi kata baku yang harus
terpenuhi apapun kesulitannya. Lain halnya dengan para dukun se-Indonesia, yang
merasa sepi job sejak kemunculan pesulap merah yang sukses membuka semua kedok praktik
sihir, dukun dan orang pintar.
Benarlah syair yang dinyanyikan Farel, seorang siswa 6 SD asal Banyuwangi
yang di dapuk menyanyi dalam peringatan HUT kemerdekan di Istana Negara berjudul
“ Ra Usah dibandingke (Jawa: tidak bisa dibandingkan). Memang tak bisa dibandingkan
jika utang Indonesia yg aneh berjumlah 7 triliun masih dibilang kecil dibanding
negara lain.
Itulah potret negara Indonesia, serumit itu persoalan negara, tetap
saja radikal, interolan dan yang lain yang dibahas. Kalimat ini dituduhkan pada
anak muda yang mengadakan kajian Islam, bebaju rapi, berkumis dan berjenggot kemudian
bahas Islam akar hingga daun.
Insyallah anak ini yang anak melanjutkan generasi penerus bangsa.
Mereka dihadapkan dengan persoalan masyarakat sebagaimana disebut di atas. Nyatanya
tak jelas. Pantas saja jika hingga 77 tahun
kita peringati tapi sejatinya masih terkungkung dengan gaya hidup hedonis.
Dalam Islam, orang yang terbukti melakukan kesalahan akan dihukum
setimpal, tidak peduli ia pejabat, menteri, atau rakyat biasa. Dengan demikian negeri
damai bukanlah sebuah impian, namun nyata. Maka tidak ada pilihan lain, selain memilih
syariat . Wallahu a'lam bish shawab.
Komentar
Posting Komentar