Makan Bersih itu Adab

 


Suatu siang, kami makan si sebuah restoran yang terkenal dengan menu ayam panggangnya. Saat menunggu pesanan kami diantar, terlihat seekor kucing yang mengendus makanan hingga naik ke salah satu meja. Kami jadi tahu, itulah caranya bagaimana saat kami berpapasan dengan kucing itu saat di pintu masuk mulutnya penuh dengan potongan ayam.

Kucing itu tak salah, terlebih saat kami lihat, puting susunya besar yang itu artinya ia memiliki anak, tentulah makanan itu untuk anak-anaknya, harunya, kami melihat, si induk kucing ini di atas meja hanya ambil remah sementara potongan ayam yang agak besar ia seret keluar. Kasih sayang seorang ibu, bagaimana pun caranya, yang penting anak sehat dan bisa makan. Masyaallah.

Kami lantas melihat, mengapa kucing ini bisa leluasa mengambil makanan di restoran ini bahkan hingga ambil makanan di atas meja. Kami lihat ternyata selain, banyak pengunjung yang tak menghabiskan makanan yang mereka pesan, juga petugas lambat membereskan sisa makanan.

Padahal restoran ini saat kami datang tak terlalu ramai, mungkin karena sudah jauh terlewat dari jam makan. Sehingga petugas tak banyak pekerjaan, mereka terlihat ngobrol tanpa ada satupun yang menghampiri meja-meja yang sudah kosong. Peluang inilah yang digunakan induk kucing itu.

Berbagi rezeki? Ah, bukan begitu juga caranya. Bukankah banyak cara yang lebih baik, sebab, tak semua pengunjung bisa nyaman menyantap hidangan ketika melihat binatang berkeliaran, seperti kucing. Bisa jadi, kucing itu diberi makananan tersendiri, meski mungkin sama-sama dari makanan sisa, namun di tempat dan wadah lain.

Lebih jauh lagi ini karena buruknya kebiasaan masyarakat Indonesia, soal foya-foya makanan, pesan tapi tak habis. Dan budaya merapihkan bekas makanan agar meja tak terlihat berantakan berikut untuk keamanan agar tak diambil binatang.

Tak salah jika kita melihat bagaimana budaya makan di tempat umum di luar negeri. Sudah umum jika setiap pengunjung akan membereskan secara mandiri bekas yang mereka makan, contoh di Jepang. Masyarakat Jepang sudah terbiasa, selesai makan langsung membuang bungkus makananan mereka di tempat khusus yang sudah disediakan, tergantung apakah bahannya reuse atau bukan.

Demikian pula saat berbelanja, mereka terbiasa membawa kantong atau tas belanjaan dari rumah. Ya, semua bisa jadi bagian dari kampanye zero waste. Namun seolah menepuk angin, karena semakin lama, sampah bukannya bertambah sedikit. Gerakan minim sampah yang dicanangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2016 sepi peminat.

Kepala Pelabuhan Tanjung Priok Wisnu Handoko mengungkapkan, setiap harinya Pelabuhan Tanjung Priok menghasilkan sebanyak 100 m2 sampah. Sampah itu terdiri dari sampah darat sebanyak 25% dan sampah laut sebanyak 75%. ”Kita punya 3 TPS dan dikumpukan, dipilah kurang lebih 70% kita buang ke TPA Bantar Gebang dan 30% bisa kita pilah karena sebagian besar sampah plastik,” ungkap dia.

Ya, dengan diterapkannya sistem kapitalisme hari ini, masalah sampah khususnya sampah makanan tak habis semakin memprihatinkan. Masyarakat tak lagi peduli apakah sikapnya hura-hura dengan makanan bisa berdampak negatif. Para produsen makanan pun turut andil, dengan mempromosikan makanan dengan berbagai upaya, hingga tak jarang sebagai teknik marketing jitu, diselipkan opini-opini sesat terkait makanan tersebut, untuk kesehatan, ketrendian, limitid edition, makanan oppa Korea, favorit artis atau malah si artis itu sendiri yang berjualan.

Padahal dalam Islam ada larangan menyia-nyiakan makanan. Berikut adab ketika makan. Rasulullah Saw bersabda,“Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas”.

Imam Syafi’i menjelaskan hadis di atas bermakna “Karena kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah”. Kapitalisme yang hanya memikirkan bagaimana cara bersenang-senang makan, sekadar untuk konten, prestise dan lain sebagainya tanpa melihat bahwa apa-apa yang masuk ke perut kelak juga akan dimintai pertanggung jawaban.

Di belahan dunia lain, kelaparan menjadi momok beberapa umat. Dan tak ada satu pun negara yang berusaha meringankan beban mereka, bukan tanpa sebab , para pemimpin dunia hari ini bukanlah seorang penggembala yang dengan ketakwaannya memelihara setiap urusan rakyat. Wallahu a’lam bishshowab


Komentar

Postingan Populer