Agustusan, semarak namun sepi misi




Malam ini warga RT perumahan merayakan Agustusan. Dulu biasa disebut tirakatan, karena mengingat masa tirakatnya para pahlawan pejuang kemerdekaan dalam membela bangsa dan negara dari penjajahan. Kemudian berganti istilah dengan tasyakuran, berawal dari ucapan syukur atas kemerdekaan yang sudah diperoleh bangsa ini.

Meriah, karena biasanya digabung dengan pemberian hadiah perlombaan. Baik lomba bapak-bapak, ibu-ibu maupun anak-anak. Namun miskin misi, sebab hal ini selalu dikaitkan dengan mengisi kemerdekaan.

Sudahkah kita merdeka? Jika yang dimaksud adalah berperang angkat senjata melawan penjajah negeri ini tentu sudah tidak lagi, kita sudah merdeka darinya. Namun, kemerdekaan ini bersifat semu. Sebab, jika dikaitkan dengan keadaan merdeka yang seharusnya sejahtera hal itu tak terwujud.

Kondisi bangsa ini sangat memprihatinkan. Dengan mengambil tema “Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat’ namun tetap dengan sistem hari ini sangatlah berat. Kemiskinan kian tinggi, perzinahan marak, pembunuhan kian tak pandang korban, pendidikan sekuler, Islamophobia dan lain sebagainya sungguh tak bisa dikatakan sudah merdeka.

Bahkan yang masih hangat terjadi, sebuah sekolah menengah di Jawa Tengah terpaksa kehilangan guru-gurunya karena insiden seorang siswinya yang depresi saat di”paksa” mengenakan kerudung. Mereka terpaksa tunduk dengan kebijakan HAM, buatan manusia, dan dipaksa berhadap-hadapan dengan Allah SWT sebagai pembuat hukum yang sebenarnya.

Hari ini sejatinya kita masih berada pada sistem yang tak layak untuk membentuk peradaban cemerlang. Sebab masih disandarkan pada pendapat manusia yang cenderung enggan diatur agama alias sekuler. Kita bisa lihat buktinya, meskipun mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim, namun Islamophobia justru merebak.

Setiap yang berhubungan dengan agama (baca:Islam), jika itu yang membahas politik, ekonomi, pendidikan atau di luar shalat, zakat, puasa dan haji pasti akan diarahkan pada opini ekstreme atau radikalisme.

Padahal, bagaimana mungkin seorang Muslim dipisahkan dari agamanya dalam setiap perilakunya? Sedangkan Allah SWT memerintahkan setiap individu Muslim masuk Islam secara Kaffah. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya,“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).

Makna kemerdekaan yang hakiki kabur bersama peringatan-peringatan kemerdekaan yang di gelar setiap tahunnya. Tidak ada satu pun pemimpin yang berani menyerukan perubahan, terutama menyerukan Islam sebagai solusi setiap persoalan manusia. Padahal, kerusakan sudah sangat parah.

Merdeka secara syariat adalah terbebas dari penghambaan kepada selain Allah, dalam segala hal tidak pernah menyelesihi apa yang diperintahkan dan dilarang Allah, zat yang ia imani. Namun justru setiap pergerakan ke arah perbaikan yang ditawarkan Islam dianggap sebagai biang kerok kerusuhan.

Marilah buka mata buka hati, benarkah Islam yang tak solutif atau kaum Muslim yang sudah terlibas racun pemikiran sekulerisme? Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Arafah di dalam haji beliau, yang beliau di atas ontanya yang bernama Al-Qashwa, beliau sedang berkhutbah. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kamu sesuatu jika kamu memeganginya niscaya kamu tidak akan sesat: Kitabullah dan ‘itrah-ku (keturunanku/sanak keluargaku), ahli bait-ku. (HR at-Tirmidzi, Ahmad dalam Al-Musnad).

Merdeka hakiki itulah yang semestinya menjadi misi kita di dunia ini. Membangun peradaban yang lebih baik, dengan menghamba sepenuhnya kepada Allah SWT, bukan kepada sesama mahkluk. Wallahu a’lam bish shawab.


Komentar

Postingan Populer