Waktu yang Berjalan

 



Terhitung saya lulus kuliah sudah 26 tahun yang lalu, lulus dari sebuah kampus swasta di kota Jember. Meski kenangannya semakin hari semakin banyak yang terlupa, namun ada beberapa yang benar-benar kuat menancap dalam ingatan.


Seperti rumah kos pertama, rumah kos kedua dan sebuah warung makan persis di sebelah rumah kos pertama dan di depan kampus. Pemiliknya pasangan suami istri dari Muntilan, Yogya, Jawa Tengah. Mereka tinggal bertiga dengan ibu sang istri, saya mengenal suaminya bernama Yoyok dan istrinya Tatik atau Sri, itulah parahnya...saya lupa.


Yang saya ingat, di warung itulah sebagai pendatang baru, saya mendapatkan suasana kekeluargaan yang bisa sedikit meringankan kangen rumah. Setiap tidak ada jadwal ngampus, sudah bisa dipastikan saya ada di warung itu. Awalnya sekadar untuk makan sehari tiga kali, namun lama-lama saya inisiatif bantu cuci piring, melayani pelanggan dan memang sih kadang dapat hadiah makan gratis, tapi lebih dari itu saya bahagia.


Mengikuti ritme kesibukan di warung saat jam makan tiba membuat saya faham tipe atau karakter pembeli, apalagi mahasiswa yang identik dengan makan ala kadarnya yang penting kenyang dan murah. Tapi warung mas Yoyok ini rasa boleh di adu, meskipun saya juga lupa nama warungnya, namun menu-menu andalah di warung ini gak ada duanya, seperti misalnya krengsengan ati ampela.


Berawal dari rasa kangen, ketika ada kesempatan ke timur, Banyuwangi, karena suami ada acara dengan sahabat lama semasa kuliah. Mereka teman satu kos dan senasib sepenanggungan menjalani masa-masa perkuliahan yang tak mudah. Karena sejalan maka saya utarakan keinginan untuk mampir.


Berbekal minimnya informasi dan kontak teman-teman. Mungkin inilah kerugian introvert, samasekali tak terpikir untuk menyimpan data, nomor ataupun pertemanan. Saya berusaha mendatangi tempat-tempat yang saya anggap benar. Mengapa saya anggap benar, karena kenyataan jauh berbeda dari bayangan.


Yah, 26 tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah perjalanan. Di mulai dari kampus yang penampilannya sudah tidak lagi bisa dikenali, bahkan bekas-bekas bangunan atau sudut-sudut yang bisa membangkitkan ingatan pun tak ada. Benar-benar berubah menjadi sebuah bangunan futuristik dengan di sekitarnya ruko-ruko yang dulu tak pernah ada.


Begitupun rumah yang kuanggap benar rumah kos, dengan jendela kamar di sisi jalan masuk sebuah gang pun tidak kutemukan. Semua tak ada yang tahu nama pemiliknya ,yang sayang sekali saya juga lupa. Hanya gambaran, bahwa pemilinya ada 5 orang, suami istri, seorang kakek dan anak dua orang, dimana yang satu memiliki keterbelakangan mental.


Apalagi warung makan mas Yoyok, meski saya yakin di lokasi itu letak warungnya, namun susah berganti pemilik, ketika ditanyakan kepada anggota keluarga yang lebih tua, ibunya, yang diharapkan lebih tahu masa lalu, ternyata juga termasuk pendatang juga yang pasti jauh dari sejarah asli rumah itu.


Ah, rindu kian membuncah, setiap gang aku masuki dan bertanya sedetil mungkin tentang pemilik kos dan pemilik warung . Jawabannya hanya gelengan kepala dan ,” Kami orang baru di sini”.


Suami menghibur, dengan mengatakan cari informasi dulu saja, di kesempatan lain kita coba cari lagi. Ya, memang hanya itu solusi yang harus saya tempuh. Tapi sebelum pulang, saya berusaha mendatangi rumah kos kedua, masih sama, dengan info yang minim. Namun ternyata, tetangga sebelah rumah kos yang sekarang pun sudah berganti pemilik masih menyimpan data lama, beliau langsung menebak saya mencari rumah bapak dan ibu Supono.


Berita dukanya, mereka berdua sudah meninggal dunia, sedang kedua anak lelakinya yang saat saya masih kos masih berusia SMA dan SMP sudah tidak di kota Jember lagi. Mereka sudah berkeluarga, rumah itu di jual dan mereka pindah. 26 tahun memang bukan waktu yang singkat untuk sebuah perjalanan hidup, apa saja bisa terjadi.


Kami akhirnya memutuskan untuk pulang, sebelumnya kami shalat dhuhur di Universitas Jember. Kampus ini pun memberikan saya kenangan yang tak terlupakan, dimana saat menjadi mahasiswa saya aktif di organisasi PMKRI (Persatuan Mahasiswa Khatolik Republik Indonesia) yang kebanyakan aktifisnya mahasiswa UNEJ. Mereka dari berbagai kota, seperti Medan, Semarang, Banyuwangi, Jakarta, NTB dan lainnya. Apa Khabar semua?


Kenangan memang tak bisa mengembalikan masa lalu, tapi juga tak bisa menyembuhkan luka, ia hanya rentetan peristiwa kehidupan kita ketika berinteraksi dengan manusia lain. Kenangan tak bisa menghakimi kita manusia yang bagaimana, sebab sebagaimana waktu yang berubah kitapun berproses. Meskipun kesimpulannya kala itu aku masih muda, tak percaya diri dan tak matang dalam proses berpikir dan berperilaku namun cukup menghibur menjadi bagian dari sejarah itu.


Meski entah kemana orang-orang yang dahulunya kita pernah masuk dalam sejarah bersama ini semoga Allah bisa mempertemukan kita lagi. Bukan untuk saling mengunggulkan, hanya menyambung tali silahturahmi dan bersyukur atas nikmat umur dan Rizki selama masih hidup ini.


Komentar

Postingan Populer