Jamu, Minuman Tak Lekang Oleh Waktu




Siapa yang belum tahu jamu? Ada yang langsung mengernyitkan dahi sebab terbayang aroma dan rasanya yang pasti meski manis tetap pahit. Namun tak sedikit yang langsung mata berbinar, karena terbayang wangi rempah dan rasa yang khas. Salah satunya saya.

Semua jamu suka kecuali Brotowali, yang pahitnya melebihi pahitnya hidup. Di saat usaha jamu dalam skala besar tak lagi baik, jamu tradisional tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat.

Diperhitungkan sebagai heritage Indonesia, bagian dari kearifan lokal. Hampir setiap hotel yang kita singgahi selama di Banyuwangi selalu ada jamu dalam menu restoran mereka. Letaknya di sudut selalu berdampingan dengan jajanan lokal yang kini sudah jarang di temui.

Namun, menemukan jamu yang rasanya pas lumayan susah-susah gampang. Karena kebanyakan hanya rasa manis dan air, rempahnya hilang. Acung jempol untuk Villa So Long Banyuwangi, meski makanannya kurang enak, karena nasi dingin dan sayuran masih keras, tapi jamunya legit banget. Kunyit asamnya tidak biasa, sepertinya diisi dengan rempah “jangkep” alias komplit. Jadi bukan hanya berisi perasan air kunyit dan asam, namun ada tambahan bahan lainnya.

Sepengetahuan saya ketika merasakan, ada rasa beras kencurnya, serai dan jeruk nipis. Jadi segar dan meninggalkan rasa nagih. Dan saat ke Kediri ternyata tak sengaja menemukan lagi di sebuah rumah makan Godong Salam, Boko Kidul, Plemahan, Kediri. Dadi sekian macam menu minuman, kami memilih teh hangat dan es kunyit asam.

Sungguh di luar dugaan, teh melatihnya benar-benar beraroma melati yang baru diseduh. Rasa kesat tehnya pun menyatu dengan aroma melati dan manisnya gula yang cukup. Demikian pula dengan kunyit asamnya. Rasa beras kencurnya kental meyegarkan. Di suguhkan dalam gelas yang unik dan itu hanya ada saat kami masih kecil. Gelas stainlesstil.

Menunya, mereka menyebutnya khas Blitar, satu kota di Jawa Timur dimana bapak proklamator RI dimakamkan. Lumayan, rasanya sesuai dengan penampilan, mengingatkan masakan desa, sederhana penampilan nikmat di rasa. Entah mengapa, menu ala desa selalu membuat kangen. Mungkin karena semakin langka tersaji di meja makan. Selain bahannya sulit, juga sudah tak banyaK yang paham resep lengkap.

Perjalanan selain menyambung silahturahmi juga membuat kita bernostalgia dengan menu masakan ibu atau nenek kita di masa lalu. Tak lekang oleh zaman, bahkan kearifan lokal ini kini mendunia.

Termasuk jamu, mungkin kini sudah sedemikian maju teknologi farmasi dan kesehatan, namun jamu bagi sebagian besar orang Indonesia bukan sekadar khasanah, melainkan kekayaan budaya.


Komentar

Postingan Populer