Kita Merdeka, Sudahkah?




Jika kita sudah sering melihat wajah-wajah para pejabat terpampang di baliho besar sepanjang jalan, berarti pemilu sudah dekat. Fakta itu tak bisa ditampik, karena selalu sama pola di setiap menjelang habis masa pimpinan pejabat sebelumya dan harus berganti dengan pejabat yang lain. Ya, yang selalu dikampanyekan pesta rakyat hampir tiba. Di tingkat pejabat disibukan dengan menyusun kekuatan kedudukan dengan berkoalisi, sedang di tingkat rakyat disibukkan dengan perencanaan mengisi peringatan hari kemerdekaan Indonesia dengan berbagai lomba dan tasyakuran. 


Salahkah? Tidak, sepanjang semua dilakukan dengan tetap memperhatikan prokes dan syariat. Mengapa syariat? Sebab selain kita adalah orang beriman, hukum lombanya mubah, jangan sampai menjadi haram hanya karena nafsu mengisi dengan kegiatan yang berlawanan dengan syariat bahkan tidak berfaedah dunia akhirat. Tidak ada yang lebih tinggi dari standar perbuatan bagi Muslim yang beriman kecuali syariat Allah. 



Namun perlu sekali lagi kita tanyakan dalam hati masing-masing, sudahkah kita merdeka? Jika sudah, pantaskah kita isi dengan "hanya" lomba? Jika belum merdeka, pertanyaannya juga masih sama, pantaskah kita isi dengan "hanya" lomba? 


Problematika umat kian menggurita mengapa kita justru mengisi kemerdekaan dengan berbagai lomba, tak hanya yang edukatif, bahkan hingga yang konyol merendahkan diri. Korelasinya dimana? Mari kita sadari, mana ada kemerdekaan sedang nyatanya banyak persoalan umat yang belum terselesaikan, tak maju, tak sejahtera, bahkan hampir-hampir tak punya identitas diri. 


Pejabatnya terus menerus disibukkan dengan melayani kepentingan oligarki dan asing. Berkali-kali rakyat dikatakan sebagai beban, baik saat bicara APBN, subsidi, kesehatan dan lain sebagainya. Bahkan mengatakan kemajuan semestinya seperti Korea, atau harga BBM kita masih lebih murah dari Singapura. Sungguh ironi!


Problematika yang terus menerus muncul, bahkan dalam kasus yang sama setiap hari hanya jumlah dan pelakunya saja yang bertambah tentu harus kita selesaikan. Secara fitrah manusia siapapun dia pasti menginginkan kesejahteraan, tenang dan tentram. Segala kebutuhannya bisa terpenuhi tanpa harus bersusah payah. 


Namun kini? Segala rupa barang kebutuhan pokok harganya melonjak tajam, alasannya mendekati hari raya besar Kaum Muslim, bukankah setiap tahun pasti kita rayakan, lantas mengapa harus mahal? Bagaimana legalnya pacaran di negeri ini dengan alasan penjajakan agar tak seperti mengambil kucing dalam karung, namun bagaimana dengan kasus menyimpan bayi hasil aborsi dalam kotak Tupperware hanya karena menunggu sang kekasih meresmikan hubungan mereka? Bagaimana dengan kasus bullying seorang santri sebuah pondok yang hendak shalat namun meregan nyawa di tangan teman sendiri karena dipukul dan ditutup sajadah kepalanya beramai-ramai? Murahnya harga nyawa hari ini. 


Sudahkah kita merdeka jika ternyata setiap keputusan para pemimpin kita sangat dipengaruhi asing dan orang-orang yang bermodal alias kapitalisme? Hingga yang seharusnya pemerintah bertugas melayani urusan publik rakyatnya dengan cuma-cuma kini berbayar. Sangatlah keji, rakyat harus membayar tarif tol yang setiap tahun selalu naik tarifnya, padahal pembiayaan dari pajak rakyat. 


Inilah pangkal persoalan negeri ini berikut juga negeri-negeri kaum Muslim di dunia, yaitu Nasionalisme. Faham kecintaan kepada tanah air yang berasaskan sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan. Sekat imajiner yang memisahkan manusia seakidah yang digagas penjajah barat ketika berhasil menghancurkan kekuatan Islam yaitu Daulah Khilafah. Negeri Muslim yang awalnya memiliki satu kepemimpinan dijerat menjadi 56 negara melalui perjanjian Skyes Picot. Setiap negara hasil keratan penjajah tersebut diberi bendera, bentuk pemerintahan, batas imagine wilayah bahkan tanggal kemerdekaan mereka sendiri. 


Dengan bodohnya, kaum Muslim yang awalnya hanya diikat oleh ukhuwah Islamiyah dengan bangganya memproklamirkan kemerdekaannya dari Daulah Khilafah, sungguh fitnah yang keji. Penjajah barat telah sukses memutar balikkan fakta, Islam sukses digambarkan buruk dan pembawa bencana. Nasionalisme inilah sesungguhnya ikatan yang lemah karena sifatnya yang temporer. Muncul hanya jika ada serangan musuh, jika tidak maka tidak ada upaya lain. Bagaimana pemahaman yang demikian bisa membawa kepada kebangkitan?


Nasionalisme menggeser fokus umat untuk mengadakan kebangkitan atau perubahan. Mereka mencukupkan pada urusan dalam negerinya saja, padahal, sejak kapitalisme bercokol sejak itulah penderitaan dimulai. Negara-negara besar yang kini berkuasa telah sukses menghegomoni seluruh aspek kehidupan masyarakat dunia. Terlebih ekonomi. Seluruh kekayaan negeri Muslim berpindah secara besar-besaran ke para cukong kapitalis. 


Darah rakyat pun dihisab habis-habisan oleh penguasanya, sebab sejak kekayaan itu hilang atau berganti pemilik, otomatis pajak diberlakukan demikian pula utang. Rakyatlah yang menderita. Yang seharusnya negara melayani kebutuhan rakyat, kini justru rakyat yang sengsara. Tak ada waktu lagi untuk berpikir jernih dan mendalam kecuali bagaimana cara bertahan hidup. 


Padahal kebangkitan dalam artian hingga muncul ketinggian berfikir hanya bisa diperoleh dari pemahaman yang benar tentang kehidupan ini. Dari mana kita berasal, untuk apa kita diciptakan dan kemana setelah kehidupan kita berakhir. Kemerdekaan sejati adalah lepasnya seorang manusia dari penghambaan kepada manusia atau makluk yang lain. 


Merdeka hakiki artinya hanyalah menuhankan Allah SWT, bukan yang lain. Sehingga, segala yang berhubungan dengan dirinya, Allah dan sesama manusia wajib diatur oleh aturan yang berasal dari Allah. Sebab, Allah-lah yang menciptakan alam dan seisinya ( QsAd Dukhan :38 ). Allah menciptakan manusia untuk beribadah (QS.Adz Dzariyat: 56) dan kembalinya manusia hanyalah kepada Allah (QS az-Zumar: 54). 


Maka, tidak ada cara lain selain menyadari bahwa kita fix belum merdeka, sebab syariat Islam belum menjadi aturan baku hidup ini. Meskipun umat Islam adalah umat terbanyak, dan meskipun ada negeri Muslim, pemimpin Muslim dan gerakan atau kelompok-kelempok Muslim. Sebab gerak mereka belum fokus pada satu cara yaitu teladan Rasulullah Saw. 


Rasulullah berdakwah bukan dengan cara kekerasan atau bergabung dengan pemerintahan berikut sistemnya. Namun dengan konsisten berusaha memahamkan umat dengan menguatkan akidah, memaparkan bagaimana Islam mengatur kehidupan dan sekaligus menciptakan suasana keimanan yang kental dengan terus menerus mengadakan kajian, telaah bahkan diskusi yang mampu membuka pikiran dan menguatkan perasaan. 


Hingga muncul pertolongan Allah melalui Mushab bin Umair dan tunduknya kepala suku Khazraj Muaz bin Jabal terhadap kepemimpinan Rasulullah yang dikenal dengan peristiwa Aqobah ke dua. Peristiwa hijrah Rasulullahlah yang kemudian menandainya kemenangan Islam dari semua kebatilan. Dengan penerapan syariat mulia yang bermula di Madinah hingga di dua pertiga dunia. Manusia menjadi manusia secara fitrah, terbebas dari pemikiran sesat ala kapitalis sekuler. 


Tidakkah kita merindukannya? Kita semestinya membuktikan ketakwaan kita yang sebenarnya dengan menegakkan syariat, agar kita mendapatkan keberkahan dari langit dan bumi. Inilah sejatinya kemerdekaan hakiki yang akan benar-benar memberikan kita kebaikan dunia akhirat . Wallahu a'lam bish showab. 

Komentar

Postingan Populer