Semestinya yang Dungu itu Keledai




Di dunia fabel, hewan yang seringkali dikonotasikan dungu, bodoh dan pandir adalah keledai. Bisa jadi karena dalam Alquran, Allah SWT juga membuat perumpamaan orang bodoh dengan hewan keledai. Bahkan hingga suara terjelek adalah hewan keledai. 


Allah SWT berfirman yang artinya,"Sederhanalah kamu dalam berjalan dan turunkan nada suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 19). Demikian pula Allah SWT berfirman yang artinya,"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim". (Qs Al-Jumuah:5).


Tak mungkin Allah SWT membuat perumpamaan sedemikian jika tanpa sebab. Secara fakta meskipun keledai adalah salah satu hewan yang akrab membantu manusia, bisa jadi karena tak seagresif kuda, dengan badan kecil dan suara melengking, Allah hanya ingin tunjukkan kekuasaanNya. Meski juga tak sejorok babi, namun tetap saja jika manusia berlaku dungu dan bodoh artinya memang lebih parah dari keledai, sebab manusia berakal sedang keledai tidak. 


Beredar di media sosial, pasangan artis beda agama yang baru dikarunia anak. Sang anak begitu bisa menghirup udara sendiri sang ayah yang beragama Islam mengazaninya, normal sebagaimana ayah-ayah lainnya. Namun, ternyata, berita berikutnya, sang anak ternyata dibaptis karena mengikuti agama ibunya. Benarlah sabda Rasulullah berikut, Dari Abi Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”



Namun, pertanyaannya, bukankah ayah adalah imam? Seharusnya dialah yang menentukan anak keturunannya beragama apa? Ayahlah yang wajib memberi anak pendidikan, nafkah dan perlakuan yang baik, termasuk nama. Faktanya, secara agama Islam, pernikahan ayah ibunya tak bisa disebut pernikahan yang shahih, sebab keduanya berbeda agama, meskipun boleh seorang Muslim menikahi wanita ahli kitab/ Nasrani. Namun bukan berarti si wanita boleh tetap dalam keyakinannya sebagai ahli kitab / Nasrani. 



Pernikahan yang demikian dihukumi fasad (rusak) sehingga haram dilanjutkan. Artinya jika masih ada hubungan badan diantara suami istri hukumnya zina. Anak yang dihasilkan dari pernikahan semacam ini jelas tidak akan pernah menjadi anak bagi ayahnya sekalipun ayah biologis. Ia adalah anak ibu. Ia tak boleh menerima waris, bahkan jika perempuan tidak boleh berwali kepada ayahnya. Sebab ia lahir dari pernikahan yang fasad. 


Bukankah merugi? Berumah tangga dalam Islam diibaratkan sebagai separuh ibadah. Setiap yang dilakukan oleh suami, istri berikut jika sudah memiliki anak adalah ibadah. Terlebih jika sudah memiliki anak, pahala ayah dan ibunya akan terus mengalir seiring dengan tumbuh kembangnya. Namun apa yang akan diajarkan kepada anak jika secara akidah saja orangtua sudah tak sama? Apakah akan memberikan toleransi sebagaimana yang dilakukan orangtuanya, Natal ikut merayakan, demikian pula saat Idul Fitri. 



Atas nama HAM dan cinta tak bisa memilih, manusia diberi wadah kebebasan. Bebas berperilaku meski dalam Islam sudah jelas hukumnya. Mereka lupa, setelah kehidupan dunia ini ada kehidupan lain, yaitu akhirat yang dijanjikan lebih abadi daripada dunia. Bisakah dibayangkan apa yang akan dilakukan oleh kedua orangtua itu kelak ketika dimintai pertanggungjawaban oleh Allah? Tentulah hanya mampu menundukkan kepala dan menarik napas lesu karena tersadar, tak ada jalan kembali, mengulang masa lalu. Dan kemudian siap tidak siap bakal menghadapi azab Allah yang teramat pedih. 


Islam hanya membolehkan hubungan pria dan wanita dalam pernikahan dan beberapa kebutuhan sosial lainnya. Islam melarang bercampur baur dan berikhtilat ( berdua-dua). Semua dalam rangka menjaga hubungan tidak mubazir, menyakiti hati jika ternyata dari pacaran mengalami kegagalan. Sakit hati jika akidah lemah berlanjut pada depresi, lebih parah lagi, bunuh diri. 


Maka dari itu, dalam Islam institusi yang paling hangat dan mampu menjadi benteng pembentukan syaksiyah (kepribadian) Islam adalah keluarga. Namun apa yang diharapkan jika dalam satu kapal ada dua nahkoda? Jika dalam keluarga ada dua akidah berbeda. Tentulah misi dan visi berbeda. 


Didalam Islam, menikah beda agama sungguh terlarang. Maka, negara yang menerapkan syariat Islam akan benar-benar menjaga akidah rakyatnya tetap kuat. Tidak terpengaruh dengan paham apapun, bahkan menjadikan keluarga, individu sebagai ladang dakwah. Media sosial yang memegang peranan penting dalam pencerdasan umatpun akan dipantau negara jika menyebarkan konten yang dilarang dalam agama. 



Ide kebebasan tanpa batas ini, hingga membolehkan menikah agama, dan diikuti dengan ritual bodoh, mencampur adukkan antara yang benar dan salah, yang halal dengan yang haram wajib kita cabut. Sebab asas kebebasan ini adalah sekulerisme, memisahkan agama dari kehidupan. Sistem aturan ini bertentangan dengan Islam, sebab tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT tak lain hanya untuk beribadah kepadaNya. "Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS Az Zariyat 56). 


Dampak dari pernikahan beda agama tentu tidak main-main. Sebab mereka pelakunya berarti telah menjadikan agama sebagai permainan. Azab Allah SWT tak bisa dianggap enteng. Kerusakan demi kerusakan akan terjadi, sebab manusia menjadi penghamba nafsu. Saatnya menggambarkan Islam akan memberikan kehidupan yang lebih baik, peradaban yang lebih cemerlang, sebab Islam datang untuk memanusiakan manusia, dengan akalnya menjadi mulia, bukan menjadi hewan yang dungu. Datangnya perintah untuk berumah tangga adalah untuk generasi penerus, pewaris perilaku mulia dan pejuang agama . Wallahu a' lam bish showab. 

Komentar

Postingan Populer