Cerdas Tapi Tak Sesuai Syariat? Big No!


Masih hangat berita seorang selebrita Indonesia yang mengakhiri masa lajangnya, menikah dengan seorang pria berkebangsaan Korea. Tak pernah terlihat berpacaran, meskipun akhirnya para pemburu berita mengulik lebih dalam media sosial sang artis dan baru " mendapati " beberapa tanda yang disuratkan bahwa dia sedang menjalin hubungan. 


Sudahlah cantik, bersuara merdu, kuliah S2 di salah satu universitas bonafit di dunia, Standford. Ternyata, suaminya pun bukan orang sembarangan. Selain sesama alumni Stanford ternyata juga pelaku bisnis di sebuah perusahaan terkenal. Apa lagi yang kurang?


Bak efek domino , media seketika ramai-ramai mengulas sosoknya yang bernilai tinggi ini, gadis yang pernah diminta untuk mewakili pemerintah Indonesia berbicara di ceremonial G20, menjadi inspirasi. Pribadinya, keluarganya, kuliahnya hingga tips-tips memiliki anak yang cerdas sebagaimana sang artis. 


Demi sebuah konten, seorang gadis berkerudung ramai diberitakan, menggunggah video ia bergoyang dan menunjukkan payudaranya. Terakhir ia meminta maaf kepada Muhamadiyah, MUI dan masyarakat Islam pada umumnya atas perbuatannya. Ia berjanji kapok dan tidak mengulang lagi. 


Masih banyak lagi perilaku yang "gila" namun dianggap cerdas bahkan menjadi ikon sebuah prestasi. Nauzubillah....Ada laki-laki dari kalangan Anshar bertanya kepada Nabi Muhammad saw, ”Mukmin manakah yang paling cerdas?” Beliau menjawab, ”Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya menghadapi kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas”. (HR Ibnu Majah).


Umar ibn Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar al-Shidiq, pernah berkata: ''Bersama sepuluh orang, aku menemui Nabi SAW lalu salah seorang di antara kami bertanya, 'Siapa orang paling cerdas dan mulia wahai Rasulullah?' Nabi menjawab, 'Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat'.'' (hadits riwayat Ibnu Majah).


Artinya, cerdas hakiki bukanlah mereka yang berparas cantik, pintar secara akademik, menghalalkan sebuah cara demi inovasi dan kreatifitas dan lain sebagainya. Namun, cerdas adalah mereka yang disibukkan dengan kegiatan dunia namun tetap mengingat kematian. Hingga kondisi mereka berakhir dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan akhirat. 


Mereka tak semata-mata menghalalkan segala cara, tak begitu saja menerima sesuatu atau melakukan satu perbuatan sementara mereka tahu itu haram, dan bakal dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Kondisi yang sangat sulit untuk mengadakan perbaikan. Mana mungkin kembali ke dunia lagi bukan?


Maka, bukan cerdas jika seseorang masih ringan melakukan pelanggaran syariat. Tak menutup aurat sempurna bahkan memperlihatkan kepada khalayak ramai. Sekali mereka melakukan itu, ada ayah, ibu, kakak, saudara, suami bahkan sesama kaum Muslim yang terseret dalam dosa pula. Sebab, seorang perempuan ketika masih gadis menjadi tanggungan orangtua ,sedangkan ketika sudah menikah menjadi tanggungan suaminya.


Kesempurnaan seseorang pun bukan semata-mata apa yang nampak. Terkadang hal itu polesan hanya demi pujian bahkan uang atau materi. Terlebih jika seseorang itu Muslim, tentulah tak akan sekadar menyatakan beriman, tapi pasti dan wajib diikuti dengan amal salih. Sebab itulah pembuktian iman yang benar dan diminta Allah SWT. 


“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).


Hal yang sulit, maka sebenarnya tak ada waktu untuk berleha-leha, setiap detik sangatlah berharga, yaitu menjadi pribadi yang senantiasa produktif. Bukan kemudian menyamakan dunia dan akhirat, justru yang diperbanyak adalah amal untuk akhirat. Nyatanya tak banyak yang bijak, berjalan di dunia dengan hati-hati dan senantiasa menambah keilmuannya agar tak salah jalan. 


Sekulerisme yang menjadi pondasi sistem kapitalisme hari ini begitu kondang, ditumbuh suburkan dengan sistem politik demokrasi. Berlindung di bawah kebebasan individu atau hak asasi manusia, menjadikan nafsu pribadi sebagai tuan. Mengatur hidup manusia melupakan mereka bakal mati.


Negaralah yang seharusnya paling pertama memelihara kebutuhan rakyat.  Memastikan akidah masyarakat tidak berguncang. Sebab, fenomena " cerdas" hari ini telah bergeser jauh. Bagaimana bisa kita kemudian mengatakan mereka adalah generasi penerus bangsa? Dalam Islam hal ini samasekali tak boleh terjadi.  Jelas tak ada kemuliaan dan kewarasan berpikir jika syariat tidak diterapkan. 


Pertama tak ada sanksi tegas yang membuat mereka jera, sebab tak menutup aurat juga masuk dalam kriminal. Kedua tak ada edukasi, padahal, keimanan naik turun jika tanpa pensuasanaan pastilah tak akan kuat. Ketiga, tak ada pemimpin yang adil yang karena takut Allah bersegera menerapkan syariat secara kafah. Wallahu a'lam bish showab. Wallahu a'lam bish showab.



Komentar

Postingan Populer