Pasang Surut Berkeluarga

 


Ibarat ombak dilautan, menikah, memiliki pasangan, memiliki anak dan seterusnya seperti ombak di lautan, ada pasang ada surutnya. Hal itu telah digambarkan Rasulullah melalui doa beliau bagi para pasangan baru yaitu “Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir.” Artinya: mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.


Ada dua hal yang utama, Dimana dua hal ini akan terus beriringan menimpa dua orang yang berkomitmen membina rumah tangga. Pertama suka dan duka atau bisa disebut juga peristiwa dan persoalan, kedua, kedua belah pihak senantiasa berkumpul dalam kebaikan, yang juga boleh diartikan komitmen. Baik suami maupun istri diwajibkan menjalankan kedua pokok esensi pernikahan di atas dengan menyandarkan kepada Allah SWT agar ada keberkahan. 


Dengan pemahaman ini, menjadikan saya flasback, merenungi perjalanan 19 tahun pernikahan saya. Tahun-tahun awal, diriuhkan dengan pengasuhan anak, lima tahun berikutnya lahir anak kedua. Tak ayal kami kemudian sibuk dengan urusan sekolah, jarang bisa mudik karena alasan anak-anak masih kecil. Tak jarang untuk persoalan sepele kami adu argumen, ya, kami pasangan muda yang lahir dari keluarga berbeda latarbelakang dan pendidikan tentu masih sering membawa prinsip masing-masing. 


Sebagai orangtua, kami pun trial and error' dalam mengatasi setiap persoalan. Sekarang baru terlihat wajar, begitulah cara kami menemukan kekompakan dan efektifitas komunikasi. Bisa jadi setiap pasangan juga mengalaminya, tak terkecuali orangtua. 



Terkadang kami juga nekad, saking kangennya dengan orangtua, berangkat berempat dengan satu sepeda Honda Supra berempat. Lebaran tahun ini ke mertua, Lebaran tahun berikutnya ke ibu. Semua kami nikmati, tak peduli bagaimana pandangan orang kepada kami, terlebih kepada suami, kenapa tidak dengan kendaraan umum saja, atau sewa mobil misalnya? Ya, itulah kegilaan kami, susah juga dijabarkan. 



Sebagai istri meskipun kadang menggerutu tak urung menikmati pula, karena perjalanan lebih santai dan bisa mampir dimana saja kami suka. Saat itu pula, kami mengalami hubungan jarak jauh (LDR) karena pekerjaan suami mengharuskan berpindah-pindah. Saya memutuskan tidak ikut, meski suami menyarankan ikut saja supaya tidak repot merawat anak sendirian. 



Ternyata Allah SWT mampukan saya sendiri melampaui masa itu, yang menguatkan prinsip saya saat itu pertama, pendidikan anak, selain karena kualitas pendidikan di Jawa jauh lebih baik daripada di luar Jawa, berpindah-pindah sekolah sepanjang tahun juga tidak bagus bagi perkembangan mental anak.  



Setelah usia anak-anak dewasa, ternyata kesibukan berangsur berkurang, bukan pada jumlahnya namun pada beban, kini kami sudah berbagi pekerjaan. Bagi mereka tentu ini adalah life skill yang harus kami yang ajarkan, bukankah tak selamanya kami bisa membersamai mereka?



Ada yang istimewa, ternyata Allah SWT memperjalankan kami dengan bonding kepada orangtua dan mertua. Saat-saat kami bersama dengan mereka tanpa kami sadari kini menjadi keseharian kami, antar, jemput, menemani saat opname, membantu keuangan, mengajak liburan, mendengarkan mereka berkeluh kesah, bercerita berulang-ulang tentang satu hal dan lain sebagainya, kami masuk dalam gerbang life skill bagi kami dan anak-anak tentang hubungan keluarga yang lainnya di luar kami berempat. 



Allah telah banyak memberi pengajaran, seperti misalnya pada QS Al-Isra:23 yang artinya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."



Nyatanya, mudah diucapkan, berat di kenyataan. Seiring dengan usia yang bertambah, kekuatan fisik berikut pemikiran orangtua kita juga jauh berkurang, yang tak jarang menimbulkan kesalahpahaman dan tingkat sensifitas yang tinggi. Beluma lagi, ini konteksnya adalah memahami sebuah keluarga besar, sebab diantara kami, saya dan suami, ada kakak, adik, sepupu, ipar dan lainnya. 



Namun mengapa kami diturunkan dalam keadaan begini? Tentu bukanlah misteri namun keberkahan yang dimaksud dalam doa pengantin di atas. Bagaimana kami sebagai suami istri diuji Allah apakah tetap bisa menjaga tetap berdua, dalam hal komunikasi untuk sebuah solusi. Fix! Tak butuh cinta, namun saling memahami, bahwa kami pun kelak beranjak tua, Allah ingin kita hari ini memberi teladan yang terbaik kepada anak, bagaimana memperlakukan orangtua.



Maka, sangat sedih ketika hanya karena kesalahan masa lalu, itupun jika dianggap sebuah kesalahan, ada kerenggangan atau kebencian terlontar kepada orangtua. Ada pihak dari keluarga terdekat yang begitu frontal menggugat masa lalu. Seolah perjalanan hidupnya bagian dari kesalahan orangtua. Tak ada sekolah sebagai orangtua. Meski ilmu banyak bertebaran, saran kerabat dan andai tolan bahkan ahli, terkadang kita tidak paham atau fakta yang di hadapi berbeda dengan teori. 


Ujungnya kitalah yang menghadapi persoalan dan kemudian memutuskan solusinya. Bisa jadi di tahun 1900an itu adalah keputusan tepat dan penting, namun di tahun 2000an menjadi basi karena banyak hal. Kemudian dengan brutal disebut itu kesalahan? Apakah disebut kesalahan ketika orang terdahulu menyalakan api dengan menggesekkan dua batu padahal kita, hari ini membakar sesuatu tak harus dengan api, ada laser dan lain sebagainya?



Maka, fairkah jika kita menuntut kesempurnaan kepada orangtua kita? Hanya karena masa lalu yang tidak sempurna? Saya rasa itu tidak bijak sekali bahkan cenderung zalim. Sebaiknya kita rubah mindset kita agar kita tak ikutan berpikir tak waras. Berapa lama usia kita dan orangtua kita di dunia ini? Jawabannya kalau bukan kita ya orangtua kita yang lebih dulu mati. Akankah terus menumpuk kezaliman sepanjang sisa usia? Bukankah lebih baik menyambung silahturahmi dan memupuknya dengan kebaikan, sebab beda rasa jika yang kita temui adalah batu nisan, bukan tangannya yang keriput namun bisa kita rasakan kehangatan gengamannya dan senyum kebahagiaan yang terpancar di matanya karena kita ada untuk mereka?



Kami menghadapi teror, yang alhasil menempatkan kami di situasi sebagai penengah. Masyaallah, di saat seperti ini saya masih bersyukur bisa lebih dewasa, dan proses menuju kesana tak mudah, mengkaji Islam ternyata sangat membantu, bukan kemudian masalah kita hilang, namun dengan pemahaman tsaqofah Islam kita jadi bisa mengidentifikasi persoalan, sekaligus tak jadi sumbu pendek, meledak-ledak namun nir akal sehat. 



Apakah ini bisa disebut siapa yang menanam ia yang akan menuai? Bisa jadi, namun balas dendam juga bukan jawaban yang tepat, ketika menjadi orangtua memang tak cukup hanya membesarkan anak-anak dengan makanan bergizi, pakaian layak serta tempat tinggal yang sehat, namun juga dengan agama. Dalam artian tak hanya mengenalkan Allah dan wajib tunduk patuh kepadaNya, namun juga membekali anak dengan tsaqofah Islam lainnya agar kepribadian Islamnya terbentuk. Sehingga menyikapi setiap persoalan dengan kacamata syariat. Bukan semata kehendak pribadi. 



Nabi saw menyatakan pernikahan sebagai nishfu ad-din. Dari Anas bin Malik ra, Nabi saw bersabda, "Ketika seorang hamba menikah, berarti dia telah menyempurnakan separuh agamanya (nishfu ad-din). Maka bertaqwalah kepada Allah pada separuh sisanya" (Dinilai hasan li ghairihi, dalam Shahih Targhib wa Tarhib 2/192). Sungguh Islam amat sangat memuliakan hambaNya melalui pernikahan. Hingga menempatkan pernikahan sebagai separuh agama.


Ada banyak kenikmatan dan keberkahan dalam pernikahan, tentu jika dilandasi dengan keimanan, sebab setelah seseorang menikah bukan lagi bicara aku dan kau, namun aku dan keluarga besar kita masing-masing adalah ladang pahala dari separuh agama yang lain yang harus kita lampaui. 


Tak ada yang bisa mengembalikan masa ketika kita berada di rahim ibu, tak ada yang bisa menggantikan air susu ibu yang tak hanya mengenyangkan, tapi juga memberi kita sifat-sifat sebagai manusia. Maka, ketika berhadapan dengan orangtua, bukan lantas kita arogan dan menyalahkan pengasuhan mereka kepada kita di masa kecil, namun bersyukur masih diberi kesempatan membersamai mereka, semoga Allah menambah keberkahan, menghapus dosa kita dan menempatkan kita di tempat-tempat orang yang ikhlas. Dan kita mendapatkan keberkahan berlimpah dalam pernikahan kita Wallahu a'lam bish showab. 

Komentar

Postingan Populer