Ilmu: Tak Berkurang Saat Dibagikan


Demam? Pasti mengacu pada keadaan tak sehat, keringat dingin, meriang, suhu badan meningkat namun terasa dingin, kepala pening dan lain sebagainya. Intinya demam adalah keadaan yang tak menyenangkan. Alarm tubuh saat ada sesuatu yang menggangu, meminta kita lebih aware paling tidak istirahat sejenak. 


Demam tak harus minum obat, apalagi kimia, dengan menambah asupan makanan yang mengandung antioksidan dan vitamin C, serta istirahat cukup insyaallah akan sehat kembali. Namun, demam sejak pandemi Covid-19 melanda dunia menjadi familier sekali, karena gejala awalnya selalu demam. Dan itu pun berangsur menghilang, muncullah apa yang disebut OTG, Orang Tanpa Gejala, alias carrier ( pembawa) virus namun tidak menunjukkan gejala apapun. 


Dari Corona-19, berubah Umicron, kini Deltacron dan entah Cron apalagi. Yang jelas, derita umat belum berakhir. Terlebih ketika penguasa seenaknya sendiri mengubah kebijakan. Saat perhelatan motoGP di Mandalika, tak wajib booster vaksin, namun untuk mudik Lebaran wajib. Puasanya belum, sudah panik kekang mengekang. Kapan rakyat bisa hidup sejahtera?


Cerita di atas adalah demam yang menyertai penyakit, ada demam yang bukan penyakit tapi gejalanya kurang lebih sama. Bahkan ditambah badan gemetar, mulut kaku, ingatan seketika kosong dan muncul perasaan ingin tenggelam ke dalam bumi saja. 


Ya, demam panggung. Siapapun orangnya pasti pernah mengalaminya, terutama saat pertama kali melakukannya. Namun ternyata, sekelas tokoh internasional, siapa tak kenal Michael Douglas, seorang aktor dan produser, peraih dua Academy Awards, lima Golden Globe Awards, Emmy Awards, hingga penghargaan bergengsi di dunia perfilman, seperti Cecile B DeMille Awards dan AFI Lifetime Awards, ternyata masih mengalami demam panggung. 


“Saya mengalami demam panggung yang parah setiap kali saya naik ke panggung,” ujar Michael Douglas saat menjadi bintang tamu Mola Living Live, Jumat (26/3/2021). Artinya wajar demam panggung itu melanda, artinya lagi, demam panggung menjadi alarm tubuh untuk bersiap dan waspada. 


Apalagi saya, yang bukan siapa-siapa. Namun karena Islam menjadi keharusan naik panggung setiap saat, meskipun panggungnya bukan berupa podium atau panggung yang megah ala Arabian Festival tahun lalu dengan curahan sinar laser yang amazing. 


Panggung kehidupan, berhadapan dengan umat. Membawa misi membumikan Islam,  menggambarkan kepada umat betapa Islam itu indah. Bukan sebagaimana yang digambarkan hari ini. Radikalisme, terorisme, moderat dan apapun sejatinya adalah ide usang ketinggalan zaman. 


Setelah mengenal Islam, rasa haus akan ilmu semakin menguat, berusaha mencari majelis ilmu kemana saja. Dan begitu bertemu dengan sebuah kajian, ternyata beda dari kajian yang lain. Kajian ini membahas Islam Kaffah, Islam yang tak hanya bahas shalat, zakat, naik haji, shadaqoh infak tapi juga ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan, hubungan luar negeri hingga pemerintahan. 


Yang mendebarkan dan benar-benar terasa baru adalah setelah mendapatkan ilmu, ternyata ada kewajiban untuk menyampaikan. Bagaimana caranya? Bergantung dari pembawaan kita, yang terpenting terus meningkatkan tsaqofah. Sampaikanlah walaupun satu ayat, begitulah kalimat Mashyur dari lisan Rasulullah Saw. 


Dan, saat itu ternyata tiba juga. Bukan kesengajaan, namun saya yakin itulah skenario Allah SWT. Guru yang seharusnya mengisi kajian rutin di sebuah perumahan, mendadak hari itu tidak bisa sebab anaknya sakit. Beliau meminta saya untuk menggantikannya. Acaranya sore, berita tidak bisanya siang, saya hanya punya beberapa jam untuk mempersiapkan materi. Jantung terasa berdebar kencang, hingga menulis pun tak sanggup. Ya Allah, mudahkanlah lisan ini.


Kurang dari setengah jam dari acara saya sudah di tempat Sohibul rumah alias yang punya acara. Sengaja saya mengajak teman satu kajian, dari info tuan rumah, ibu-ibu yang hadir biasanya sekitar 40 an, ya Allah...batinku, semakin mendekati tempat acara, tanpa sadar saya semakin kencang menggenggam tangan sahabat saya. Dengan lembut beliau berkata," gak papa Bu, insyaallah jenengan bisa, saya yakin itu". Bismillah..


Salam saya ucapkan dengan lantang, sengaja saya ulang, selain untuk mencairkan suasana, juga untuk menenangkan debaran di dalam dada yang kian kencang, jangan sampai orang yang duduk di sebelahku mendengarnya, namun tak urung mic yang ada dalam genggaman bergetar juga. Perlahan kemudian saya buka buku catatan kecil di tangan kiri, saya baca lagi poin-poin materi. 


Tanpa terasa, lima menit sudah berlalu dan saya mulai bisa menguasai panggung. Ada rasa hangat merayapi sekujur tubuh, dan itu menenangkan. Meskipun ada beberapa poin yang tidak tersampaikan dengan sempurna, namun evaluasi awal sangatlah bagus. Siapa yang bisa dalam sekali kerja sukses luar biasa? Kalaulah ada tentu dia istimewa sekali atau rekayasanya yang luar biasa. 


Berikutnya saat dibuka sesi tanya jawab. Dalam hati kembali ciut, bisakah saya menjawab sesuai syariat atau kaidah? Mengingat ilmupun masih sedikit. Kembali saya berdoa, semoga Allah kembali memudahkan lisan ini. Alhamdulillah, sesi ini pun berjalan lancar, banyaknya pertanyaan yang dilontarkan ibu-ibu peserta kajian tak ada yang tidak terjawab. Alhamdulillahnya, pertanyaannya simple dan lebih kepada pertanyaan harian yang butuh jawaban benar salah, yang terkadang bercampur mitos dan hoax. 


Dan ternyata, seiring perjalanan waktu, materi kajian terus berlanjut, dari kitab satu berganti kitab yang lain, menjadi pemateri itu nagih. Amanah berdatangan, dari mulai materi umum hingga materi kitab yang itu berarti saya menjadi "guru" dalam sebuah kajian. Regenerasi. Sungguh indah skenario Allah. 


Semakin pula saya sadari, ternyata semakin sering kita berbagi kepada banyak orang, ilmu kita tak pernah berkurang, malah bertambah, malah lebih paham dari saat kita sendiri yang terima ilmunya. Mengapa? Pertama kita jadi mengulang pelajaran lama, apa yang dulu sudah kita dapatkan kita review, disitulah mengapa kita malah makin paham tentang satu hal. 


Kedua, rasa bertanggungjawab yang muncul membuat kita membuat persiapan yang maksimal. Sebab kita tak mungkin sembarangan memberikan materi tanpa persiapan apapun, termasuk minimal membaca ulang. Ketiga, karena dorongan pahala, membuat kita rela mengulang-ulang materi dan memberikannya ke orang lain yang sama atau berbeda. 


Dan metode talaqiyan fikriyan ( bertatap muka) inilah yang membuat para sahabat Rasulullah teruji militansinya, ketaatannya, berikut ketakwaannya. Dari amal mereka yang terus menerus mengkaji dan sekaligus menyebarkannya, kita mengenal Islam dan bisa menjadi seseorang yang berhak mengharapkan surga. 


Kini, komitmen untuk terus berIslam Kaffah menjadi bagian dari hidup dan keseharian. Berharap dengan ini, bisa dikumpulkan dengan orang-orang salih. Meski demam panggung masih melanda, namun kini lebih bisa menguasai diri. Hanya butuh menenangkan diri sebelum memberi materi, baca ulang dan pelan materi yang akan disampaikan berikutnya adalah dengan berdoa agar Allah senantiasa memberikan perlindungan. Wallahu a' lam bish shawab.

Komentar

Postingan Populer