Tak Sekadar Pindah Tidur



Kalau sudah membicarakan liburan, pasti yang dibutuhkan adalah rekomendasi penginapan, baik itu hotel, vila ataupun homestay. Di Bromo, ada banyak penawaran ketiga macam penginapan ini, dari mulai view pedesan, ladang, hingga gunung Bromo sendiri yang berarti sudah di desa Cemoro Lawang sendiri. 


Dulu ketika masih mahasiswa, tak terlalu memikirkan penginapan, yang penting bisa muncak, tidur seadanya sudah cukup. Jadi ingat ketika pertama kali mendaki dengan dua sahabat sekampus. Bekal makanan paling banyak saat itu mie instan, wedang jahe sachet dan cemilan kecil lainnya. Soal penginapan ,kita akan patungan nginep di rumah penduduk. 


Bisa jadi karena minimnya pengalaman, dan sedikitnya informasi yang kami miliki, rumah penduduk yang dimaksud temankupun benar-benar seadanya,tak ada toilet yang layak. Dan letaknya jauh dari rumah. Kebayang kan betapa dinginnya udara dan tak ada fasilitas air hangat. Selimut pun seadanya. Bukan perkara mandi yang menyiksa, tapi kalau ingin BAK atau BAB, itulah yang merepotkan. Benar-benar di luar kenormalan, dan bagi pemilik rumah sepertinya hal yang demikian tak jadi soal. 


Sebenarnya ada satu tanah lapang di sekitaran Cemoro Lawang, yang biasanya digunakan untuk mendirikan tenda mereka yang ke Bromo dengan gaya backpaker. Namun kami tak punya tenda, menyewa pun rasanya tak cukup,sebab bekal kamipun minim. Hem, nekad juga kalau diingat lagi hari ini. 


Pada pendakian berikutnya, tentu sudah lebih baik karena sudah dengan suami dan anak-anak. Awalnya, suami tak mau ambil risiko kalau ambil homestay atau vila, apalagi kami cuma berempat. Maka setiap kali mendaki, suami selalu pesan hotel. Padahal ketika itu aku sudah punya kenalan yang kerjanya sebagai pemandu wisata di Bromo, awalnya beliau seorang guru yang Nyambi menawakan wisata Bromo. 


Beliau siap menyediakan layanan dari mulai penginapan, akomodasi, hingga sekadar konsultasi. Wilayahnya juga kini tidak hanya Bromo, Semeru tapi juga Malang, Banyuwangi dan Bali. Sayang ketika itu masih belum bisa memanfaatkan jasanya karena belum bisa meyakinkan suami kenyamanan, harga yang bersahabat dan ketersediaannya di high session. 


Namun, kemarin adalah kali pertama suami memintaku untuk potong kompas menanyakan akomodasi dan penginapan. Langsung aku berkoordinasi dengan teman tersebut, sebab suami memberi batasan, jika tak dijawab dalam semalam maka batal berangkat ke Bromo, hohoho...jangan sampai itu terjadi. Dan Alhamdulillah, meski saat ditengah diskusi ditinggal tidur, maklum di Bali beda waktu satu jam dengan Sidoarjo. Jadi di sana sudah cukup larut. Namun yang jelas, menjelang pagi sudah deal Jeep dan homestaynya. 


Dan ternyata memang tak mengecewakan dengan rate 600 ribu semalam, dua kamar, air panas, ruang keluarga dengan sofa besar sehingga serbaguna untuk tambahan kasur tidur. Kami berenam merasa nyaman, bak menemukan rumah sendiri. Awalnya suami khawatir warung yang jual makanan jauh dan juga mahal. Namun ternyata, meski banyak kafe dan restoran dengan harga yang lumayan menguras kantong, kami bisa menemukan warung makan sesuai namanya, sederhana. Murah meriah, pelayanan ramah dan menunya cocok di lidah. Saat kami pamit pulang si ibu penjaga warung memberi kami hadiah pisang, unik juga.


Suasana pedesaan dan pegunungan yang tenang memang berhasil menghipnotis kami. Si sulung sudah lebih dulu mengabadikan suasana pergantian dari siang ke malam yang luarbiasa. Dan memang berwisata salah satu tujuannya adalah untuk mentadabburi ciptaan Allah SWT bukan? Masyaallah. 


Soal pilih penginapan, kami pernah terpaksa harus berganti kamar, homestay ini masih terbilang jauh dari Cemoro Lawang, gerbang terakhir menuju Bromo. Waktu itu kita booking sekaligus dengan Jeep. Qodarullah, mobil yang kami sewa mogok, kehabisan bensin sehingga tak bisa melanjutkan perjalanan menuju penginapan. Padahal saat itu magrib sudah menjelang. Alhamdulillah ada penduduk sekitar yang berbaik hati menawarkan kami tumpangan menuju homestay dengan mobil bak sayurnya. 


Ketika kami masuk ke kamar yang kami pesan, ada aura tak enak merasuk, dinding yang serba bambu dan perabot yang serba kayu tak bisa menetralisir rasa ini. Terutama banyak sekali lukisan yang terpasang di dinding seakan mereka punya mata dan sedang memandangi kami. 


Anak perempuanku masih sempat menggunakan toilet, kemudian dengan wajah pucat minta keluar kamar itu. Yah, tak bisa dipungkiri, meski belum bisa dibuktikan secara ilmiah, namun Alquran memang menyebutkan ada mahluk tak KASAD mata yang hidup berdampingan dengan kita. Namun jika rasa tak enak ini muncul bisa jadi mereka tak suka dengan kehadiran kita. Dan bisa jadi pihak homestay memiliki kebiasaan tertentu sehingga ada satu kamar dengan aura berbeda. 


Saran saya, dimanapun kita akan menginap, selalu bacakan Alquran, disarankan Al Baqarah, namun tak mengapa surat apapun. Hal ini untuk menjaga kita sendiri dari hal yang tak diinginkan. Namun dari kasus di atas, kami akhirnya memilih pindah kamar. Sebagai saran kepada pembaca, tentukan dengan teliti dan rapi kebutuhan sesuai destinasi. Jangan sampai bak memilih kucing dalam karung, maka pastikan punya nomor kontak orang-orang yang memang memiliki kapasitas. Pilih agen-agen terpercaya atau bertanya pada orang yang sudah pernah mengunjungi destinasi wisata yang akan kita tuju tersebut. 


Selain menghemat waktu dan energi tentu yang terpenting tidak membuat liburan kacau. 

Komentar

Postingan Populer