Layangan Putus, Drama atau Nyata?

 



Sejak sinetron Layangan Putus tayang di webtv dan trailernya berikut iklannya muncul dimana-mana masyarakat bak diguncang gelombang tsunami buatan. Ada video yang beredar dimana seorang pria menggerutu karena terus menerus diikuti oleh istrinya setelah nonton tayangan sinetron itu. 


Parodinya pun bermunculan, latah ini melanda setiap orang bahkan hingga orang yang tidak pernah kita sangka akan melakukan parodi. Entah untuk kepentingan apa, promosi dagangan mungkin agar lebih laris dan sebagainya. 


Namun mereka lupa dampak negatif dari tayangan yang sebetulnya bermuatan adegan 17 tahun ke atas. Besar kemungkinan apa yang mereka lakukan bisa ditonton oleh generasi lebih muda. Cepat atau lambat, yang menonton begitu saja, menangkap dramanya begitu saja tanpa filter apa makna dan nilainya. 


Bukankah itu berarti kita ikut menjadi penyalur dampak buruk, penyalur keburukan yang kelak menjadi amal jariyah ketika kita sudah meninggal? Nauzubillah...


Layangan putus menceritakan rumah tangga yang di dalamnya ada perselingkuhan. Yang dikaburkan adalah bahwa syariat sebenarnya membolehkan poligami, seorang suami menikah lagi, lebih dari satu meskipun tanpa izin istri pertama. Namun, justru menjadi buruk karena digambarkan, istri kedua pelakor, penggoda suami orang, bahkan dibumbui dengan adegan ranjang yang tak layak tonton. Entah kemana KPI tak terdengar suaranya sama sekali ketika adegan yang semestinya hanya ada di dalam kamar pasangan suami istri kini diumbar di ranah publik, bukan tak mungkin menjadi rangsangan bagi mereka yang belum menikah dan memilih jalan yang sama tanpa pengetahuan tentang syariatnya.


Sejatinya, ini adalah bukti kebodohan umat Islam akan agamanya. Mereka buta agama, padahal mereka ingin mati diatur oleh Islam, anehnya semasa hidup justru tak mau belajar Islam bahkan mengatakan radikal bagi yang mendalaminya. 


Ketika syariat ini diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat, tidak ada keguncangan semisal layangan putus. Sebab di masa kini, ketika kapitalisme memimpin, negara tidak ambil bagian. Kesejahteraan individu per individu bukan ditanggung negara, melainkan rakyat sendiri, bahkan masih harus menanggung pajak dan utang negara. Sehingga hal ini berimbas pada keluarga yang kebetulan mengalami keretakan ini. 


Saat mereka tak lagi sejalan, perceraian terjadi, pihak perempuanlah yang paling menderita, terutama ketika yang menjadi penyebab perceraian adalah wanita kedua, setelah berpisah, tak jarang pihak mantan suami tak lagi menafkahi mantan istri pertama, padahal sudah memiliki keturunan. 


Disinilah urgensitas penerapan syariat itu dibutuhkan, sebab solusi yang ditawarkan Islam adalah memaksa mantan suami untuk tetap menafkahi istri pertama, terlebih kepada keturunannya. Jika memang tidak mampu, maka wanita itu dikembalikan kepada walinya, bisa ayah, kakek, kakak atau kerabat terdekatnya. Apa daya, dalam sistem hari ini semua dibuat susah, sehingga dengan bertambahnya satu anggota baru malah menambah beban, terutama ekonomi. Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa janda cenderung mencari nafkah sendiri. Ini yang tidak mampu ditanggung oleh negara penganut kapitalis.


Dalam negara berdasar syariat, jika semua nasab sudah dicari dan tidak ada yang mampu maka akan dibiayai oleh negara. Negara menggunakan dana yang berasal dari Baitul mall. Kehadiran negara sebagai pelayan inilah yang meminimalisir dampak buruk perceraian. 


Demikian pula negara akan mengatur sistem pergaulan antara pria dan wanita. Tidak sebagaimana sekarang yang begitu bebas, masih pacaran tapi sudah berhubungan badan. Zina dianggap gaya hidup, padahal sebagai seorang Muslim wajib memiliki standar halal haram bagi dirinya sendiri. Di dunia dosa zina adalah tidak diterimanya shalat 40 rumah di sekitar pelaku zina. 


Jika ada perselingkuhan, artinya ada perzinahan yang terjadi nyata dan bisa dibuktikan di pengadilan maka pelakunya akan dicambuk jika belum menikah dan dirajam jika sudah menikah. Hal ini untuk membuat jera orang-orang yang di dalam hatinya ada niatan untuk berlaku zina. Bagi pelaku sendiri ini menjadi tebusan dosa di akhirat, ia tak akan dituntut lagi. Karena lama hukuman diakhirat itu tidak ada batas. 


Negara juga akan menerapkan ekonomi syariat yang memungkinkan segala muamalah, didasarkan pada halal dan haram. Sehingga apa yang diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi rakya adalah yang halal. Hal ini penting sebab siapapun yang makan makanan halal lagi toyyib adalah berkah. Berikutnya ketika mengembangkan kepemilikan juga dengan usaha yang halal tidak dengan jalan mengeksploitasi, misalnya dengan jualan video porno dan lain sebagainya. 


Jadi kesimpulannya, layangan putus yang hari ini ditayangkan tidak layak ditonton sebab tak ada edukasi. Intinya cerita dalam sinetron itu adalah bentuk poligami yang tidak siap, sebab minimnya informasi dan penggambaran bagaimana pengaturan Islam terhadap poligami. Hal ini hanya bisa diselesaikan jika sistem sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan keamanannya berdasarkan Islam bukan yang lain. 

Komentar

Postingan Populer