Couple of Bromo
Pernikahan sebenarnya paling effort sekali adalah berjuang mencintai orang yang sama. Sebab tujuan pernikahan adalah mewujudkan keluarga tangguh, bertakwa, dan sekaligus mencetak agen perubahan dengan dakwah Islam Kaffah.
Padahal rasa itu naik turun, meskipun sudah hapal karakter masing-masing, tak urung masih emosi juga jika ada kata-kata yang sedikit tinggi atau pedas. Entah, apakah hanya rumah tanggaku saja atau rumah tangga yang lain juga begitu, yang jelas diakhir waktu kami harus mengakhiri perdebatan itu dan berdamai di atas kasur sebelum mengakhiri hari.
Saat kami menjalani LDR ( Long Distance Relationship) benturan itu tak terasa. Karena dipisahkan jarak ribuan kilometer dan hanya berkomunikasi via video call, hal yang tak kondusif bisa disembunyikan atau disingkirkan atau tidak diceritakan. Saling percaya mutlak dibutuhkan, meski kadang syak wasangka menerpa.
Dan ketika tidak lagi menjalani LDR, setiap hari bertemu dan melihat kebiasaan masing-masing awalnya tak terlalu bermasalah, bisa ditoleransi. Namun seminggu, dua Minggu, sebulan dua bulan kog tidak ada perubahan,jadilah bak neraka, saling sindir dan menjatuhkan. Anak-anak mungkin mengira ayah ibunya sedang bercakap biasa. Namun aku yakin, sebenarnya mereka merasa ada sesuatu antara kedua orangtuanya, hanya saja belum bisa mendefinisikan apa itu.
Sebisa mungkin aku pun tetap menjaga wibawa suami di hadapan anak-anak. Aku tetap ingin mereka menghormati sosok terkuat yang selalu mendukung apapun yang terjadi pada anak-anaknya sekalipun kadang berbeda pendapat. Namun aku yakin, dengan hadirnya sosok ayah, anakku menemukan kembali pahlawan dalam hidupnya, yang selama ini mungkin hanya virtual.
Foto couple, termasuk yang jarang kami lakukan. Biasanya aku yang memulai. Ketika ada kesempatan ke Bromo ini, ternyata suami yang memulai, katanya mengulang dulu yang pertama kita lakukan. Saat aku masih kuliah, pun suami, kami pernah melakukan pendakian ke Bromo, gaya backpakeran tentu. Ke Bromo sengaja berangkat agak sore, supaya tak butuh waktu lama untuk menanjak.
Kami putuskan istirahat di sekitaran Hotel Bromo Permai, yang memiliki taman berikut kursi untuk duduk-duduk. Istimewanya, Hotel ini halaman depannya, yang sekaligus dijadikan taman persis menghadap Bromo dan Batok. Sungguh view yang luar biasa. Saat itu kami meminta tolong orang untuk memotret kami.
Tak dinyana, puluhan tahun kemudian, kami ke Bromo lagi sudah berempat. Maka nikmat Tuhanmu yang mana yang kamu dustakan? Berkeluarga selalu ingat akan PR besarnya, yaitu sudahkah kita menjadikan keluarga kita sebagai agen dakwah perubahan? Sebab setiap amal dimintai pertanggungjawaban. Tak hanya saat mengajak anak-anak berlibur untuk mutaddabur tapi juga ilmu dan ketakwaan agar mereka bertahan di jalan ketakwaan.
Komentar
Posting Komentar