Bromo in Love

 



Kalau melihat foto baju muslim untuk keluarga, digambarkan di situ sebuah keluarga bahagia, dengan baju seragam, senada dan senyum terkembang. Ideal sekali, seakan gambar itu berbicara, rayakan hari istimewa, dengan busana yang sama. Keluarga bahagia, dimulai dari baju yang sama dan lainnya. Hem, is not easy like that beb...


Membina sebuah rumah tangga belajarnya seumur hidup. Tak cukup bermodal cinta saja, butuh kesabaran, keuletan, gak mudah menyerah, gak mudah emosi bahkan intinya mau menerima pasangan apa adanya dan bertumbuh bersama dengannya apapun gelombang ujiannya. 


Entah ide dari mana, saat di Bromo suami kepikiran pose pre wedding saat si sulung minta kami berpose. Kita kan gak punya foto pre wedding kan Bu, begitu kata suami. Gaklah, menikah saja darurat sahutku. Ya, kami menikah dalam keadaan darurat, pada hari yang ditetapkan untuk kami menikah Qodarullah adalah tanggal yang sama suami kakak meninggal setahun yang lalu, menurut adat Jawa yang ia percayai pada tanggal itu kalau diadakan pesta akan ada salah satu yang kalah. 


Entah apa maksudnya kalah, karena pada faktanya saat itu bukan hanya pesta pernikahan yang digelar, tapi juga perayaan sunatan kedua cucunya. Apa itu bukan acara pesta? Kalau kakak konsisten dengan ucapannya, tentu acara sunatan itu tak akan digelar berbarengan dengan pestaku. Karena menurut kepercayaan tadi seharusnya tak ada pesta, satupun, lha ini sampai dua. Logikanya kan tambah parah juga efek kekalahannya. 


Tapi itulah pemikiran njelimet orang sekuler, di satu sisi mengaku beragama Islam, tapi di sisi lain mengakui ada hukum lain, kekuatan lain yang lebih dahsyat dari Allah SWT, nauzubillah...


Kembali kepada pose pre wedding yang diusulkan suami, ternyata malu juga ya. Karena selama ini kami disibukkan dengan merawat anak dan rumahtangga sehingga tak terlalu memikirkan bermesraan. Faktanya sih memang kami kurang bersentuhan, atau kalaulah berpose mesra, tidak untuk ditangkap dalam kamera. Jadilah kekikukan yang merajai. Dan sebelnya, suami menjadikan ini sebagai momen menggodaku. Ada saja arahan gayanya yang ia berikan ke anakku supaya dia memotret kami sesuai arahannya. 


Setelah foto-foto itu tersimpan dalam memori kamera, kami berkesempatan melihat hasilnya satu persatu. Lucu dan cukup menyentuh. Ternyata, pengantin tua pun butuh distimulasi hal-hal kecil ini. Mungkin lebay kalau anak sekarang mengistilahkan, namun justru yang ringan dan kecil inilah percikan yang dibutuhkan. 


Sekian lama mencoba kuat dalam mengarungi rumah tangga, tentu tak diragukan lagi jika kami saling memiliki dan menguatkan, namun hal itu berjalan wajar saja hampir-hampir tanpa rasa. Memeluk, menyentuh, berbicara dengan saling bertatapan mata semua sambil lalu, padahal dulu itulah yang menggetarkan dan kemudian menumbuhkan rindu. 


Ternyata, Bromo in love, buat I am in love again. Dengan orang yang sama, yang tak lagi segagah dulu, tak muda lagi bahkan sudah mulai membungkuk karena perut tuanya sudah pula menonjol tapi memberikan arti yang luar biasa, menjadi manusia yang bermanfaat. 

Komentar

Postingan Populer