Simbol Hukum Negara Anti OTT, Adilkah?

 



Dari Aisyah ra beliau menceritakan, "Orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, 'Siapa yang bisa melobi Rasulullah saw? Mereka pun menjawab, "Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh Rasulullah shallallahu Saw?" 


Maka Usamah pun berkata (melobi) Rasulullah saw (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah saw kemudian bersabda, "Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?"


Rasulullah saw pun berdiri dan berkhutbah, "Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).


Dari hadist di atas, jelas sekali betapa tegas sikap Rasulullah sebagai pemimpin ketika menemui kemungkaran. Beliau tak sekadar bertindak sebagai simbol kekuasaan, namun benar-benar mempraktikkan untuk apa adanya kekuasaan. Ya, untuk mengurusi urusan umat alias meriayah. Agar ketentraman dan keteraturan berjalan sebagaimana mestinya. 


Hari ini, penerapan hukum di tangan penguasa bak permainan. Sudahlah masyhur pendapat jika hukum di negeri ini tajam ke bawah tumpul ke atas. Yang artinya jika pelaku kriminal itu berasal dari kalangan empunya kekuasaan maka bisa dipastikan akan berlarut-larut prosesnya bahkan hingga umat melupakannya. 


Sedangkan maling ayam di arah hingga babak belur dihakimi massa, bisa jadi, massa sudah terlalu jengkel dengan gaya penanganan penguasa di atas sehingga diselesaikan dengan cara mereka sendiri. Contoh terupdate adalah apa yang dikatakan oleh salah satu anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan. Menurutnya polisi, jaksa dan hakim tidak perlu dikenai OTT. Alasannya karena mereka adalah simbol negara di bidang penegakan hukum yang harus dijaga marwah kehormatannya.


Alasan lainnya, OTT seringkali membuat gaduh dan menimbulkan rasa saling tidak percaya antarlembaga. Pernyataan ini mendapat sanggahan dari Kurnia Ramadhana, peneliti ICW “Ada yang bengkok dari logika berpikir Arteria Dahlan terkait dengan OTT aparat penegak hukum,” sebut Kurnia dalam keterangan tertulis, Jumat (kompas.com,19/11/2021). 


Kurnia memaparkan, prinsip dasar penegakan hukum equality before the law. “Ini mengartikan siapa saja sama di muka umum, sekali pun mereka adalah aparat penegak hukum,”. Jikapun ada kegaduhan, itu tidak muncul dari penegak hukum yang melakukan OTT, tapi justru dari pihak eksternal.


Kurnia meminta agar Arteria membaca dengan cermat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab dalam Pasal 1 Angka 19 KUHAP, OTT diatur dan legal dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dan penindakan pidana korupsi adalah penegakan hukum. 


Inilah fakta yang tak bisa terelakkan di negeri ini. Tak ada lagi standar benar dan salah, sebab disandarkan pada pemikiran manusia, bukan syariat. Padahal akal manusia terbatas, seringkali sarat dengan kepentingan pribadi. Sehingga ada kecenderungan memihak pada kelompok, golongan atau pihak tertentu. Jika sudah begini, pastilah paham mengapa keadilan bak menara gading yang tak tersentuh. 


Bahkan manusia yang oleh Allah diberi tampuk kekuasaan menjadi orang yang jumawa, seakan kekuasaan dan jabatan yang ada padanya akan abadi. Padahal, penguasa atau pejabat adalah orang yang paling dekat dengan api neraka, buat apa dibanggakan bahkan dengannya kemudian zalim kepada orang yang dipimpinnya ?


Lantas, ketika Rasulullah mencontohkan sikap adil yang sebenarnya, mengapa manusia enggan mengambil? Mereka mengaku Muslim, shalat lima waktu, puasa, membaca Alquran, infak shadaqoh dan lainnya, namun untuk urusan satu ini samasekali tak merasa butuh, padahal, adil sebagaimana yang didefinisikan syariat adalah bagian dari keimanan seorang Muslim yang juga harus dikerjakan. 


Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah :85 yang artinya," Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antaramu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” 


Bisakah ketiadaan keadilan, korupsi dan tindak kriminal lainnya kian merajalela, rakyat sengsara karena selalu menjadi obyek penderita dan lainnya dikatakan sebagai kehidupan nista yang dijanjikan Allah SWT? Belum lagi kelak pada hari kiamat kita semua akan dikembalikan kepada siksa yang sangat berat, hanya karena hari ini masih keukeuh mempertahankan hukum yang bukan berasal dari syariat. Astaghfirullah..

Komentar

Postingan Populer