Saya Sih gak Suka Paksa Anak




Dimana paling up to date bisa mendapatkan informasi sekolah dan proses belajar mengajar anak sekolah kalau bukan saat terima rapor? Bagi sebagian orangtua, terutama yang bekerja mungkin merepotkan. 


Namun tidak bagi saya, di acara inilah saat saya bisa mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang proses belajar anak dan istilah-istilah yang selama ini asing namun harus tetap dicerna oleh orangtua. 


Sekolah hari ini berbeda dengan zaman saya SD, sekarang ganti menteri pendidikan berganti pula kurikulum. Buku paket pun masih bisa memakai bekas kakak kelas. Sekarang yang ada ganti tahun ganti buku , tergantung tender perusahaan cetak mana yang menang. Yang terbaru kurikulum 2013, atau yang biasa disingkat K-13 juga akan diganti dengan kurikulum sekolah penggerak. Apa pula itu?


Sebelum saya bahas itu (kemungkinan dalam tulisan berikutnya), saya begitu tertarik untuk bercerita tentang seorang wali murid yang kebetulan duduk bersebelahan ketika pemaparan wakil kepala sekolah bidang kurikulum dimulai. 


Dandannya khas mama milenial, make up tegas dan tebal, kerudung melilit leher dan celana jins membalut 3/4 kakinya, terlihat gelang kakinya yang bergemerincing setiap kali ia mengubah posisi duduknya.


Ia mengatakan bahwa tak pernah memaksa anaknya mau pilih jurusan fakultas kelak, apapun tegasnya. Semua pilihan ia serahkan anaknya sebab hidup pilihan bagi anaknya, yang bakal menjalani adalah pribadi anaknya bukan lagi dia. Bahkan bisa jadi soal penampilan kata hati saya perlahan.


Sekilas pernyataannya terkesan modern dan moderat, demokratis banget sebab ada kebebasan berpendapat yang dijunjung di dalamnya. Namun jika kita melihat dari kacama seorang Muslim, justru sebaliknya. Kata-kata itu sungguh sangat berbahaya. Mengandung ajakan untuk membebaskan segala cara dalam mencapai tujuan, bahkan sepertinya misi dan visi hidupnya telah melenceng dari yang Allah swt inginkan.


Anak adalah amanah, hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Quran surat An-Nisa ayat 9 yang artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka". 


Kalimat hendaklah takut kepada Allah menunjukkan betapa penting posisi anak bagi orangtua dan sebaliknya, sebab kelak di akhirat bisa saling menuntut karena ketika di dunia tak terlaksana perintah dalam ayat ini. Jangan meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah bukan semata masalah pemeliharaan dan tumbuh kembangnya. 


Namun juga kesejahteraannya, yang menyangkut hak-anak anak, diantaranya diberi nama, dipelihara, waris, menjadi wali jika perempuan, diberi rasa aman dan diberi pendidikan. Dari situlah maka harus diperhatikan bahwa sebagai orangtua tidak ringan tanggungjawabnya. Jika kemudian membebaskan anak memilih jalan hidupnya bukankah ini sama saja memaksa anak hidup di hutan belantara?


Ironinya, sekolah penggerak yang kini bakal menjadi kurikukum pengganti K-13, salah satu programnya adalah penguatan karakter Pancasila , teknisnya akan ada grup WA yang memantau kapan dan dimana terjadi perundungan (bullying) kepada anak. Anak harus dipastikan memiliki karakter Pancasila, dengan tujuan untuk membentengi anak-anak dari kasus intoleransi, anti radikalisme dan faham-faham lainnya yang bertentangan dengan Pancasila. 


Makna yang bias, antara pendidikan orangtua dan perundungan, padahal persoalannya hanyalah bagaimana membangun komunikasi antara orangtua kepada anak begitu sebaliknya. Bahkan yang dicontohkan dalam pemaparan tersebut adalah konflik orangtua dan anak soal pemilihan jurusan fakultas. Anak menganggap orantua tak paham dengan maksudnya, terlalu memaksakan kehendak dan lain sebagainya. Sedang orangtua karena merasa berpengalaman, eksistensi, gengsi, turun temurun memaksa anak sesuai keinginan mereka. 


Terjadinya konflik kemudian disebut sebagai perundungan, inilah dampak jika dimaknai bias, ada kemungkinan akan mengalir kepada pemahaman yang salah, terlebih kemudian ada kebijakan pendukung, RUU PKS misalnya. Yang justru mengerdilkan peran orangtua sebagai wali utama anak. 


Anak adalah amanah, sekali lagi dalam konteks ini anak adalah tanggung jawab kita sebagai orangtua, dari mulai mengenalkan Allah dan Rasulnya hingga kewajiban anak sebagai manusia dewasa kelak yang mukallaf atau sudah bisa dibebani syariat. Alquran telah mengajarkan secara rinci, ditambah dengan teladan Rasulullah. Maka, masihkah ada alasan mencari dari sumber yang lain, terutama yang bersumber dari kecerdasan manusia semata?


Islam datang dengan kesempurnaan. Mengatur urusan keluarga sebagai institusi terkecil masyarakat, maka bahasan hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga sangatlah rinci. Sejak anak dari buaian hingga orangtua yang renta tak berdaya ada solusi bagi setiap persoalan yang muncul. Tinggal kita mau mempelajarinya atau tidak, dan sebetulnya di sinilah peran krusial negara sebagai pengurus urusan rakyat. 


Maka ,perlu dipertanyakan penguatan karakter Pancasila yang hendak dijadikan kurikulum tambahan selain akademik dan ketrampilan patut dipertanyakan. Sudahkah ada contoh nyata mereka yang sungguh-sungguh melaksanakan setiap butir nilainya? 


Sebab jika kita bicara pendidikan tentu tak cukup materi yabg diajarkan bisa memuaskan akal namun juga memuaskan seluruh panca Indra dari mata hingga rasa ( kalbu). Tentu tak asing dengan peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohon. Hal itu menunjukkan bahwa anak tak akan jauh karakternya dari orangtuanya, sebab anak adalah peniru ulung. 


Di sinilah perlu ilmu yang cukup bagi kedua orangtua agar mereka bisa menjadi teladan bagi anaknya, dimana ilmu itu tak hanya berupa teori tapi juga penguatan nafsiyah berupa kesadaran hubungan mereka dengan Allah. Sehingga setiap langkah berdasarkan apa yang dihalalkan atau diharamkan Allah. 


Tidak ada hukum terbaik selain hukum Allah Sang Penguasa alam semesta, maka jika kita sandarkan hal yang krusial pada sesuatu yang tak pasti, bahkan belum ada bukti nyata kebaikan aturan buatan manusia ini bukankah sama saja kita sedang berjalan menghancurkan diri sendiri?


Orang yang disebut paling Pancasilais bahkan berteriak lantang paling sesuai dengan Pancasila nyatanya menjadi perusak masyarakat yang paling lantang pula, korupsi, menggadaikan negara kepada asing, hingga menyerahkan sepenuhnya pengurusan dalam dan luar negeri kepada pengaturan asing. Apa yang dihalalkan Allah justru diharamkan begitu sebaliknya. Solidkah dijadikan panutan? Secara akal sehat, mana ada orang yang suka melihat perbuatan jahat atau di luar makna kebaikan yang sudah diakui di masyarakat tertentu?


Pengajaran dengan syariat, agar sesuai dengan perintah agama , yaitu menuhankan Tuhan yang esa atau satu ( begitu bunyi sila satu) justru dianggap radikal, intoleran, ekstrimis, dan itulah yang kelak menjadi muatan kurikulum sekolah penggerak, agar mindset anak terbentuk yang umum bahkan tak mencerminkan agamanya ( baca: Islam) samasekali. Dimana bagusnya?


Anak dipaksa percaya dengan sesuatu yang tidak berdasarkan data valid ( dengan menjadikan Islam Kaffah sebagai musuh), lantas kita paksa mereka bisa otomatis menata hidupnya sendiri dengan baik. Pondasi yang dibangun rapuh, mungkinkah bisa tegak bangunan yang kokoh? 


Maka fix, program sekolah penggerak samasekali tidak terkait dengan solusi bangsa yang ingin berjalan sebagai bangsa yang besar dan berdaulat, justru makin jauh panggang dari api. 


Seandainya para orangtua memahami ini dan sama-sama memahami ini sebuah persoalan besar, maka akan berjuang bersama-sama orang yang lurus menjadikan anak benar-benar investasi akhirat. Wallahu a'lam bish showab.

Komentar

Postingan Populer