Resesi Seks , Menuju Punahnya Peradaban?



Disebutkan empat negara ini, Cina, Jepang, Korea Selatan dan Singapura mengalami fenomena resesi Seks. Dimana generasi mudanya enggan menikah dan jikapun menikah enggan memiliki anak. Di Cina hal ini membuat pemerintah secara mengejutkan memperbolehkan pasangan memiliki tiga anak sejak Mei 2021. Dan ini merupakan kebijakan besar di negara terpadat penduduknya itu. Selama ini China mengontrol ketat jumlah penduduknya dengan hanya mengizinkan satu keluarga memiliki dua anak. 


Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Jepang menyatakan jumlah bayi yang lahir di Negeri Sakura tahun 2020 telah anjlok hingga ke rekor terendah. Banyaknya pasangan yang menunda pernikahan dan memiliki anak di tengah pandemi global menjadi alasannya. Hingga pemerintah Jepang sejak tahun 2020 berencana menaikkan angka kelahiran dengan membantu mendanai sistem perjodohan menggunakan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang diperkirakan akan menghabiskan dana hingga 2 miliar Yen atau setara dengan Rp 272 miliar. Angka yang tak main-main. 



Sedangkan di Korea Selatan Di Korsel sudah ada persatuan wanita yang menolak norma patriarkal dan bersumpah untuk tidak menikah. Mereka bahkan berjanji tak mau punya anak bahkan berkencan dan berhubungan seksual. Kelompok feminis itu bernama '4B' atau 'Four Nos', yang merupakan kepanjangan dari 'no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing', yang artinya adalah tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak mengasuh anak.



Pemerintah Korea Selatan memperkirakan populasi Korsel yang saat ini di angka 55 juta, akan turun menjadi 39 juta pada tahun 2067. Pada tahun itu, setengah dari populasi negara tersebut akan berusia 62 tahun atau lebih. Dampak yang luar biasa. 



Mengutip Channel News Asia (CNA), 30 Agustus 2021, di Singapura ada 19.430 pernikahan tahun lalu. Jumlah ini turun 12,3% dari tahun sebelumnya 22.165. Ini juga jadi catatan terendah sejak 1986, ketika ada 19.348 pernikahan. "Pembatasan pertemuan besar pada tahun lalu bisa menyebabkan pasangan menunda pernikahan mereka," ujar rilis Divisi Kependudukan dan Bakat Nasional Singapura. 



Dunia pun ikut memperkeruh suasana, dengan memberitahukan ancaman baru pasca pandemi Covid-19 dengan apa yang disebut perubahan iklim yang diakibatkan oleh memanasnya suhu global. Siapa lagi yang paling lantang menggaungkan ya jika bukan PBB?

Badan internasional itu bahkan mengeluarkan "kode merah untuk kemanusiaan" ketika para ilmuwan iklim terkemuka dunia menyampaikan peringatan paling keras tentang darurat iklim yang semakin dalam.



Hal ini berpengaruh dalam kehidupan manusia kebanyakan, pasalnya banyak pihak berpikir bahwa semakin banyak manusia berarti semakin besar emisi yang ditimbulkan dan kebutuhan pangan juga semakin meningkat. Alhasil "resesi" seks mungkin akan terjadi. Analis di Morgan Stanley mengatakan dalam sebuah catatan bahwa gerakan untuk tidak memiliki anak karena kekhawatiran perubahan iklim telah tumbuh signifikan belakangan ini. "Memiliki anak tujuh kali lebih buruk untuk iklim dalam emisi CO2 setiap tahun daripada 10 mitigasi paling dibahas berikutnya yang dapat dilakukan individu," (CNBC Internasional, 12/8/2021).


Resesi Seks, Menuju Punahnya Peradaban?


Fenomena ini memang amat sangat memprihatinkan, sebagai seorang Muslim justru isu ini adalah sampah sebab tak termaktub dalam satu ayatpun kebenaran dari isu ini. Hal yang sangat krusial itu adalah, menunda menikah atau jika sudah menikah sepakat tak punya anak sebab bakal memberatkan bumi yang memang sudah tua ini. Dan ini 100% adalah hasil kesimpulan dari pemikiran yang landasannya adalah sekular. 


Mereka beranggapan dengan banyaknya manusia maka kesempatan mereka untuk hidup lebih baik akan semakin sedikit, seiring dengan makin sedikitnya bahan pangan akibat perubahan iklim. Resesi Seks Menuju pada punahnya peradaban? Benarkah? Menurut penulis terlalu dini menyimpulkan hal itu sebab belum digali lebih dalam lagi sebab mendasar fenomena resesi Seks ini menjadi kian santer berhembus. 


Resesi Seks Adalah Buah Sistem Kapitalisme


Ada hal mendasar yang mengakibatkan resesi Seks ini kian seksi dan eksis, yaitu diambilnya sistem peraturan kapitalisme yang benar-benar hanya mengambil manfaat materi semata, padahal bukti tak terbantahkan sebanyak apapun materi anda jika hati tak bahagia, hidup tak sejahtera bahkan tak adil semua sia-sia belaka. "Ada istilah anak sultan bebas", maksudnya dengan kekayaan yang mereka miliki duniapun bertekuk lutut di hadapan mereka. Lantas mengapa orang justru bunuh diri, gila, depresi bahkan hingga menjadi psikopat padahal harta berlimpah?



Sistem aturan kapitalisme, melahirkan dampak yang tak manusiawi. Ketika negara tak hadir sebagai periayah (pengurus), maka rakyatlah yang sengsara, diantaranya ada kewajiban untuk membayar pajak, ditambah dengan biaya sekolah, kesehatan, keamanan, perumahan yang harus dibayarkan. Yang tampak mata adalah pernikahan itu mahal, belum jika nanti dikaruniai anak, sungguh merepotkan. Biaya hidup bertambah mahal. 


Terlebih jika hidup di kota besar biaya membesarkan anak sangatlah mahal, perempuan juga secara alami menunda atau menghindari persalinan karena pemberdayaan mereka yang semakin meningkat. Mereka keluar dan ikut mengadu nasib agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Padahal, satu masalahnya yaitu berpulang dari sistem pengaturan di atas yang masih mengambil kapitalisme. 


Keserakahan kapitalisme yang mengeksploitasi sumber daya alam negeri ini dan kemudian diserahkan kepada investor asing, padahal SDA adalah salah satu hak kepemilikan umum yang semestinya dikelola negara sendiri bukan kepada asing, telah sukses menyengsarakan rakyat sendiri, sebab pemerintah Indonesia akhirnya memberlakukan pajak guna mengisi pos pemasukan APBN. Wajar jika kemudian negara tak bisa membiayai kebutuhan rakyat secara maksimal, sebab pajak bersifat fluktuatif. Beda dengan pengaturan anggaran negara dalam Islam, dengan apa yang disebut Baitul Mal. 


Maka, pendapat resesi Seks Menuju kepunahan peradaban hanya bisa diatasi dengan satu solusi saja, yaitu cabut sistem batil ini. Kembali kepada pengaturan Allah yaitu syariat. Sebab, perbedaannya sangatlah jelas, bagaimana dahulu sejarah mencatat dengan gemilang, perlakuan para penguasa Islam untuk rakyatnya, salah satunya Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang telah sukses mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan. Semua rakyatnya hidup berkecukupan. ‘’Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya,’’ kisah Yahya bin Said. Kemakmuran umat, ketika itu, tak hanya terjadi di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah kekuasaan Islam, seperti Irak dan Basrah.


Tak berhenti disitu, setelah semua yang berutang dilunasi oleh Khalifah, yang tak mampu bayar jizyah, kharaz dan tak punya modal untuk bekerja telah dipenuhi hingga Khalifah lalu memerintahkan lagi, ‘’Kalau begitu bila ada seorang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya!’’. 


Kemudahan-kemudahan ini adalah jaminan negara yang berdasarkan sistem Islam, tak ada resesi ekonomi apalagi seks. Wallahu a'lam bish showab. 

Komentar

Postingan Populer