Kunker Brasil dan Ekuador, Solusi atau Malah Tekor?

 



Lagi dan lagi, jika wakil rakyat kunker (kunjungan kerja) tak pernah dekat, kota yang dipilih selalu di luar negeri, kali ini Brasil dan Ekuador. Hal ini dikatakan oleh Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus, alasan Badan Legislasi DPR memilih Brasil dan Ekuador sebagai tujuan kunjungan kerja adalah dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).


Lodewijk mengatakan, Brasil dipilih agar DPR mengetahui cara mereka mengimplementasikan undang-undang dalam mengatasi kekerasan seksual yang telah membudaya di negara itu. Brasil pun telah membentuk sebuah lembaga khusus yang menangani persoalan kekerasan seksual di negara tersebut dengan didukung undang-undang yang ada. "Kalau di sana dianggap sebagai kultur, kita kan tidak, tetapi ada sesuatu yang tentunya kita perlu petik dari bagaimana mengimplementasikan dari aspek struktur atau kelembagaan dan perundang-undangan, itu yang pertama untuk Brasil," kata Lodewijk di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (Kompas.com,4/10/2021).


Sementara, Ekuador dipilih karena negara tersebut dinilai mampu mengimplementasikan Undang-Undang Antikekerasan kepada Perempuan. Di kedua negara yang akan dikunjungi nanti DPR akan melihat perbedaan Brasil dan Ekuador dalam mengatasi persoalan kekerasan sesksual. "Sehingga nantinya saat uji publik ataupun tahapan selanjutnya dari RUU ini, itu kita bisa betul-betul mendapatkan masukan dan kita bisa mengimplementasikan secara baik di Indonesia," ujar Lodewijk. Menurutnya lagi, kunker dengan cara daring tidaklah seefektif dengan datang langsung dan melihat faktanya. 


Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan, DPR memperbolehkan rencana kunjungan kerja ke luar negeri di tengah pandemi untuk keperluan yang sangat prioritas. "Kita kemarin sudah membuka bahwa dengan keadaan pandemi yang sekarang ini kita memperbolehkan untuk keperluan-keperluan yang sangat prioritas dan tentunya dengan catatan daerah menerima," kata Dasco (1/10/2021).


Sekali lagi kunjungan DPR ke luar negeri dengan alasan studi banding tidak hanya sekali, pada 22 Februari 2021, Komisi I DPR pernah berencana melakukan kunjungan kerja ke Qatar pada 28 Februari 2021 sampai 6 Maret 2021 di tengah pandemi Covid-19. Meskipun Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar (Kompas.com, 30/9/2021). Namun, Indra mengatakan, surat yang diteken oleh Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin itu masih bersifat penjajakan. (Kompas.com, 30/9/2021). 


Namun rencana ke Qatar dibatalkan pada 23 Februari 2021 dengan alasan pada saat pandemi Covid-19 yang melanda dunia tidak sepantasnya kunker ke luar negeri, demikian kata Syaifulla Tamliha, Komisi I DPR fraksi PPP. DPR pun pernah berkunjung ke Yunani di tahun 2018, Bahas soal Ekonomi dan Pendidikan (detikNews.com, 7/3/2018). Mengapa dengan alasan yang sama kali ini DPR tidak membatalkannya?


DPR Gagal Paham Akar Persoalan 


Kunjungan kerja yang berulang kali nyatanya tak juga mampu mendongrak ekonomi membaik dan tercipta kesejahteraan. Malah nyata telah melakukan pemborosan, karena yang nampak malah gaya hidup Borjuis, kunjungan kerjanya hanya sejam dua, wisatanya berhari-hari. Bahkan boleh membawa keluarga. Baik dengan anggaran DPR maupun biaya pribadi, tetaplah dipertanyakan seberapa penting dan efektifnya kebijakan kunker itu. 


Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) boleh dibilang terlalu memakan waktu pembahasannya. Apa sebab? Karena munculnya banyak kepentingan atas lahirnya UU itu. Yang bisa dipastikan bahwa DPR Gagal mengidentifikasi akar persoalan mengapa kekerasan seksual marak dan tak pernah putus baik kasus, pelaku, motif dan teknisnya. Berkembang terus kasusnya hingga meresahkan rakyat. Korbannya pun kini bukan hanya perempuan dan anak perempuan, namun bisa sesama jenis, keluarga dekat, anak kandung dan lain sebagainya. 


Kejinya, kadang kekerasan seksual ini sengaja diekpos agar menjadi opini umum yang menyerang agama tertentu dan ajarannya ( baca: Islam). Ketika krisis dan kisruh berlangsung di situlah negara kapitalis mendapatkan keuntungan berlipat-lipat, kepentingan mereka terlaksana, hegemoni mereka awet. Padahal jelas-jelas landasan berpikir sistem kapitalis ini adalah sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan. 


Ketiadaan pengaturan agama berakibat fatal terhadap sendi-sendi masyarakat, hingga tingkat terkecil yaitu institusi keluarga. Rusak, bahkan tak manusiawi. Bagaimana seorang selebritis Indonesia mengatakan semua agama sama dan menolak memiliki anak ketika menikah nanti menjadi salah satu buktinya. Tak ayal apa yang dia akui, memorakporandakan generasi muda hari ini yang memang sedang menuju kepada kelemahan berpikir.


Generasi hari ini tak paham agama, tak berusaha untuk meraih target tertinggi dalam hidupnya adalah taat kepada Rabb-nya. Mereka nyaman dalam kehidupan yang salah. Tanpa pernah mau menggali bahwa Islam agama yang dipeluk oleh mayoritas warga negeri ini bukanlah sekadar pengatur akidah dan ibadah. Namun juga memuat aturan guna menjadi solusi ketika manusia mendapatkan problem. 


Jika Ambil Syariat Islam , Kekerasan Seksual Hilang


Maka sistem kapitalisme harus dicabut terlebih dahulu jika menginginkan perubahan. Ibarat tanaman yang memiliki akar busuk, maka harus dibuang agar agar yang lain bisa tumbuh lebih baik. 


Brasil dan Ekuador adalah presentasi negara penganut kapitalisme. Wajar jika kekerasan seksual menjadi budaya, dan meskipun salah satu negara sudah memiliki lembaga khusus anti kekerasan, tetaplah akan muncul bak bahaya laten, sebab seksualitas adalah komoditas, kehidupan bebas aturan adalah prinsip mereka. Tak ada peran Tuhan di dalamnya.


Kehidupan bebas tanpa aturan yang kemudian sering diusung guna melawan agama. Kapitalisme mendorong wanita bekerja di luar, padahal di luar sistem keamanannya bukan berasal dari kaum Muslim. Maka, lagi-lagi yang berbicara adalah kepentingan. Tontonan dan tayangan di dunia Maya atau televisi malah lebih impresif dalam menggambarkan bagaimana pornoaksi dan pornografi yang kemudian dijadikan kiblat gaya hidup generasi penerus. 


Masa pandemi, masa dimana seharusnya empati dan simpati harusnya dikedepankan tak meluluhkan hati penguasa jua. Bayangkan betapa besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk kunjungan kerja, bukankah lebih baik jika difokuskan pada percepatan pemulihan pandemi Covid-19. Ini jika melihat dari sisi urgentisitas menurut Syaifulla Tamliha, Komisi I DPR fraksi PPP di atas. 


Islam telah memberikan contoh yang riil, yaitu melalui apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Membangun peradaban mulia anti perundungan,bullying, kekerasan dengan konsistensi kepatuhan pada syariat Islam berhasil tanpa batas, hingga 1300 tahun. Kisah mashyur bagaimana Khalifah Muktasim Billah memerintahkan pengepungan wilayah Amerika dengan pasukan berkuda yang kepalanya di pasar Yahudi itu, ekornya di kekhalifahan hanya untuk membela satu muslimah yang dibullying pemuda jahil. Adakah hari ini? Jelas tidak ada dan tak akan berakhir kecuali dengan hadirnya pemimpin yang bertakwa yang memandang kekuasaannya adalah amanah yang dipertanggungjawabkan oleh syar'i sang pembuat hukum, Allah SWT. Wallahu a'lam bish showab

Komentar

Postingan Populer