Alasan Demi Alasan Demi Sebuah Pembenaran



Kembali pemerintah mengubah tanggal merah libur nasional, jika di awal tahun saat peringatan tahun baru Islam, 1 Muharam, kini peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Hari libur yang sebelumnya jatuh pada 19 Oktober 2021, digeser menjadi 20 Oktober 2021.


Mirisnya perubahan ini tertuang dalam Surat Keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi, Birokrasi Nomor 712, 1, dan 3 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Bersama Menag, Menaker, Menpan dan RB Nomor 642, 4, dan 4 Tahun 2020 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama. Selalu berulang pula hukum manusia lebih tinggi dari apa yang sudah ditetapkan agama, pun dalam hal penentuan hari yang menjadi kebanggaan kaum Muslim. Namun mengapa tanggal kelahiran Yesus bagi umat Nasrani yang jatuh tanggal 25 Desember tidak mengalami perubahan?



Alasan pemerintah geser libur Maulid Nabi adalah karena pandemi Covid-19. Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin mengatakan, pergeseran ini merupakan upaya pencegahan dan penanganan penyebaran dan antisipasi munculnya klaster baru Covid-19. Adanya perubahan hari libur dan cuti bersama ini diharapkan bisa mengurangi mobilitas masyarakat dan potensi penularan Covid-19.



"Ini ikhtiar untuk mengantisipasi munculnya klaster baru, maka dipandang perlu dilakukan perubahan hari libur dan cuti bersama tahun 2021 M," kata Kamaruddin. Hari ini, Jumat (8/10/2021) ini sendiri, sudah masuk dalam bulan Rabiul Awal 1443 Hijriah. Pada bulan Rabiul Awal itulah Nabi Muhammad SAW dilahirkan, yaitu pada 12 Rabiul Awal yang dikenal juga sebagai Maulid Nabi(kompas.com, 8/10/2021).



Apakah karena Islam menjadi agama mayoritas sehingga menjadi ancaman bagi munculnya kluster baru penyebaran Covid-19, sungguh pernyataan yang keji jika benar demikian adanya. Sebab dalam ajaran Islam sendiri kebersihan hingga dikaitkan dengan sebagian iman. Begitu pula ada kewajiban untuk menjauhkan gangguan terhadap manusia yang lain, baik dengan lisannya maupun perilakunya. Dan semuanya bernilai ibadah, ikhirat menjaga kesehatan ibadah, tersenyum kepada saudaranya ibadah hingga menyingkirkan duri di jalan juga ibadah. Sekecil itu menjadi perhatian, apalagi perkara Covid-19. 



Dunia Islam tak sekali ditimpa bencana, mulai dari kekeringan, kelaparan, bencana alam hingga wabah. Namun tak sekalipun ada cerita dalam kitab-kitab para imam dan tabiin tabiut yang penyelesaiannya hingga berlarut-larut. Sekali lagi semua ini karena pengaruh mindset seorang pemimpin. Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah, dia akan dilaknat Allah jika nyata ketika kekuasaan ada padanya namun bukan untuk urus rakyat. Rasulullah pun pernah berdoa demikian,"Ya Allah, siapa saja yang memimpin (mengurus) urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia". (HR. Muslim No 1828). 



Jika ada yang berani menganggap sepele kekuasaan yang ada di pundaknya pastilah ia bukan benar-benar Muslim yang bertakwa. Bahkan bisa jadi ia adalah pemimpin yang tak adil dan zalim. Semua karena Islam dijauhkan dari perhatian kaum Muslimin, terlebih kini masif gerakan moderasi agama (Islam) yang secara masif dilakukan oleh kaum Muslim sendiri, yang mereka juga duduk di kursi kekuasaan. Lisan mereka justru menebarkan racun, memikat umat dengan ide busuk yaitu bahwa Islam sudah saatnya dimoderasi, disesuaikan dengan nilai-nilai demokrasi, kebebasan berpendapat, pluralisme, kesetaraan gender dan yang lainnya dimana semua bersumber dari hukum dan buah pikir kafir. 



Maka tak ada yang bisa digali dari alasan pergeseran tersebut kecuali memang ada Islamophobia. Islam hendak disingkirkan ,tak cukup sebagai pengatur politik masyarakat dan bernegara, namun di ranah ibadahpun mulai diobok-obok. Hal ini memunculkan pemahaman takut dengan agama sendiri dan bahkan latah menganggap menjadi fanatik terhadap ajaran agamanya sendiri adalah salah atau termasuk Islam radikal (dan sederet sebutan lainnya).



Allah SWT telah mengingatkan dalam ayat berikut,"Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sekaligus mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan) dijadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (QS At-Taubah: 37).



Menurut Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah , Sesungguhnya pemindahan pengharaman bulan Muharram ke bulan lainnya -sebagaimana yang dilakukan orang-orang arab pada masa jahiliyah- merupakan tambahan kekafiran setelah kekafiran mereka kepada Allah karena mereka mengingkari hukum-Nya pada bulan-bulan haram. 



Dengan bulan-bulan haram ini setan menyesatkan orang-orang yang kafir terhadap Allah, ketika setan membuat aturan yang buruk bagi mereka berupa penghalalan bulan haram pada suatu tahun dan menggantinya dengan bulan lain, dan membiarkan pengharamannya pada tahun lainnya. Ini mereka lakukan untuk menyesuaikan jumlah bulan yang diharamkan Allah, meskipun pada bulan yang berbeda. Mereka tidak mengharamkan suatu bulan melainkan dengan menghalalkan bulan yang lain sebagai gantinya, sehingga mereka dapat menghalalkan bulan yang telah Allah haramkan. Setan telah menghiasi perbuatan-perbuatan buruk, sehingga mereka melakukannya, semisal membuat riba nasi’ah. Allah tidak memberi taufik kepada orang-orang yang terus menerus di atas kekafiran mereka (https://tafsirweb.com/3053-quran-surat-at-taubah-ayat-37.html). 


Sungguh dahsyat akibatnya dan tak lain itulah ajakan nyata setan kepada manusia dengan mengubah bulan bahkan tanggal di bulan-bulan yang sudah dikhususkan oleh kaum Muslim. Meskipun dalam sejarah Maulid Nabi tidak ditemukan pada masa sahabat, tabiin, hingga tabiit tabiin, dan empat imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad). Namun mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad SAW. Mereka pula kalangan yang paling bersemangat dan menghayati setiap ajaran-ajaran yang diwariskan olehnya.



Sehingga menurut beberapa pakar sejarah Islam, peringatan dan perayaan Maulid Nabi dipelopori oleh Dinasti Ubadiyyun atau disebut juga Fatimiyah (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah). Al Maqrizi, salah satu tokoh sejarah Islam mengatakan, para khilafah Fatimiyah memang memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Asy Syekh Bakhit Al Muti'iy, seorang mufti dari Mesir, dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal.44) juga menyebut, yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid, salah satunya adalah Maulid Nabi adalah Al Mu'izh Lidnillah (keturunan Ubaidillah dari Dinasti Fatimiyah) pada 362 Hijriah.



Selain mereka, dalam beberapa buku sejarah juga disebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah memang yang menginisiasi perayaan Maulid Nabi. Perlu diketahui sebelumnya, pemerintahan Fatimiyah berdiri pada 909 Masehi di Tunisia. Enam dekade kemudian, mereka memindahkan pusat kekuasaan ke Kairo, Mesir. Dua tahun setelah masuknya Shalahuddin al-Ayubbi ke Mesir, yakni sekitar tahun 1171, Dinasti Fatimiyah runtuh (republika.co.id, 20/10/2020).



Perjalanan panjang sejarah tak mungkin dihapuskan, meskipun bukan ditetapkan oleh syariat, namun jika amal ini , dengan mengingat hari kelahiran Rasulullah kemudian mengisinya dengan aktifitas positif yang tidak melanggar syariat tentulah sangat disarankan. Terlebih jika dengan kegiatan Maulid Nabi, generasi muda lebih mengenal tauladan terbaiknya dan menumbuhkan semangat membela agama, Allah dan RasulNya maka tak ada alasan untuk mengutak-atik tanggalnya. 



Terlebih menyematkan jika tepat pada tanggal 12 Rabiul Awwal akan muncul kluster sementara di tanggal 20nya tidak, adalah alasan bodoh dan terlalu dicari-cari. Karena tanpa adanya perayaan hari besar agama, kurva penyebaran Covid-19 yang sempat melandai sudah kembali menanjak. Muncul kluster akibat PTM ( sekolah Pertemuan Tatap Muka) salah satu contohnya. 



Semestinya pemerintah lebih bijak dan kemudian bermuhasabah, inilah akibat tak memiliki prioritas amal, sehingga penanganan pandemi malah terkesan setengah-setengah, dengan berulang kali memperpanjang PPKM, berbanding terbalik jika penanganan ekonomi , segala sesuatu dikerjakan sungguh-sungguh, seperti misalnya Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi yang meminta dewan PBB menghapus red list internasional (daftar merah perjalanan internasional). 


Logikanya sehatnya rakyat dulu, baru ekonomi, bukan malah fokus pada hal yang belum urgen, seperti pemindahan IKN ( Ibu Kota Negara) baru, pembukaan lalu lintas wisata Bali, proyek infrastruktur raksasa yang samasekali abai dengan rakyat. Maka bisa disimpulkan, penguasa hari ini tidak berada di pihak rakyat, kecuali hanya melindungi kepentingan para kapitalis, hingga mengubah yang satu dan menetapkan yang lain, perayaaan Natal dan tahun baru bersambung, sudah terbayang " holiday season" yang bakal mendatangkan manfaat bagi mereka. Masih yakin demokrasi mampu menciptakan kesejahteraan berikut keadilan? Siapkah menjadi pengikut setan dengan mempercayai alasan konyol penguasa? 

Komentar

Postingan Populer