Yang Utang Siapa, Mengapa yang Bayar Kita?

 


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yakin bisa membayar utang pemerintah yang sudah menumpuk. Apalagi akibat tekanan pandemi Covid-19, utang pemerintah naik tajam dalam satu tahun terakhir. Hingga akhir Juni 2021, utang pemerintah tercatat Rp 6.554,56 triliun atau 41,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Utang ini terdiri dari SBN Rp 5.711,79 triliun dan pinjaman baik dalam dan luar negeri sebesar Rp 842,76 triliun.


"Saat kita menghadapi pandemi dan penerimaan negara kita merosot, kita mengalami defisit dan berutang. Namun kita yakin bisa membayar lagi apabila penerimaan pajak bisa dikumpulkan," ujarnya dalam acara Pajak Bertutur, (cnbcindonesia, 25/8/2021).


Menurutnya, salah satu langkah untuk kembali mendorong penerimaan pajak sekaligus tetap menangani dampak dari pandemi pertama melalui reformasi perpajakan. Reformasi untuk memperbaiki dari sisi administrasi dan juga teknologinya.


Kedua, reformasi pajak juga dilakukan untuk Sumber Daya Manusia (SDM) nya. Di mana pelaku pajak terutama pejabatnya yang nakal akan diperbaiki. Karena kewajiban negara untuk terus melakukan koreksi karena pajak identik dengan kepercayaan masyarakat kepada negara.


Ketiga, Reformasi perpajakan melalui edukasi mengenai betapa pentingnya pajak kepada masyarakat, terutama anak muda. Bahkan Sri Mulyani menilai sangat perlu pendidikan pajak bisa diberikan di sekolah-sekolah agar masyarakat belajar pentingnya pajak sejak dini. "Edukasi, sosialisasi pemahaman mengenai pajak harus dilakukan bahkan sejak dini. Seharusnya pendidikan mengenai ketatanegaraan kewarganegaraan atau kecintaan terhadap negara kita sendiri harus dalam satu nafas dengan kewajiban untuk membayar pajak, karena itu adalah bentuk bernegara yang paling konsisten dan paling mampu untuk menjaga kepentingan bersama," tegasnya.


Siapa yang utang dan siapa yang bayar? Memang pandemi menghentikan semua kegiatan perekonomian, namun sebelum pandemi keadaan perekonomian sebenarnya sudah memprihatinkan. Pendapatan negara hanya mengandalkan pajak, utang dan sedikit pendapatan non pajak. Namun tetap saja impor bukannya swasembada, bahkan terus menerus menarik investor untuk pengelolaan SDA dengan berbagai alasan, di antaranya Indonesia tak punya tenaga ahli atau pekerja terampil. Bukankah ini sama dengan buruk rupa kaca dibelah?


Konsep negara tak jelas, seakan negara hanya pekerja dan rakyat pemilik pekerjaan yang punya kewajiban membayar. Mengapa hubungan negara dengan rakyat bak hubungan bisnis? Negara ini sudah salah urus!


Konsep utang dan pungutan pajak sebagai pembiayaan negara hanya ada dalam sistem kapitalisme. Negara akan mengutamakan investasi guna menghasilkan keuntungan. Maka disusunlah kebijakan berdasarkan kepentingan tersebut. Padahal Indonesia adalah salah satu negara terkaya di dunia, baik itu kekayaan hutan, mineral, hayati laut, ladang, perkebunan, sawah dan lain-lain. Dengan kebijakan yang pro pengusahalah kita kehilangan hak kepemilikan semua itu. 


Kebijakan berikut sistem demokrasi yang hanya menghasilkan penguasa tamak, korup, mati hati, hilang empati, memperkaya diri sendiri dan tak takut Allah SWT meski mereka kebanyakan Muslim dan ketika dilantik, disumpah dengan Alquran di atas kepala mereka. Dengan mudahnya mereka menjadi pengkhianat, melupakan semua janji kampanyenya ini memiliki kelemahan fatal yaitu hilangnya kedaulatan negara sebab tak jarang negara atau organisasi keuangan di dunia ini pasti menginginkan keuntungan dan menciptakan prasyarat yang jika disetujui akan menghilangkan kedaulatan negara, wibawa negara tiarap sebab tak lagi punya kuasa mengatur SDA dan SDM sesuai dengan yang semestinya. 


Jika kekuasaan sudah dikuasai oleh kekuasaan lain yang lebih kuat lagi, maka atas nama pengawasan negara dan sebagainya , negara yang lemah akan dikuasai, dizalimi dan tak akan ada kemerdekaan mengatur kehidupannya sendiri kecuali harus mengikut apa kata majikan. Inikah yang kita inginkan? Semangat kemerdekaan yang hanya lips servis, jika ingin negara merdeka dan bertumbuh sesuai slogan tahun ini, yang harus dilakukan adalah campakkan hukum manusia, sistem batil dan beralih kepada hukum Allah SWT semata. 


Islam menempatkan negara adalah memudahkan urusan rakyatnya, dengan pemimpin yang bekerja untuk diterapkannya Islam secara Kaffah, sebagaimana hadis Rasulullah saw,“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Ketakwaan adalah harga mati, sebab saat pemimpin lalai dengan menerapkan hukum selain hukum Allah maka ia akan mendapati dirinya diazab Allah. 


Utang bukan hal yang haram, namun jika utang menjadi jalan untuk menguasai bahkan melemahkan kaum Muslim maka jatuhnya haram. Allah telah menurunkan konsep pembiayaan sebuah negara, yaitu dengan mengatur kepemilikan individu, umum dan negara. Hasil pengelolaan umum dan negara akan dikembalikan kepada rakyat berupa langsung dan tak langsung. Semua diatur dalam Baitul mal, termasuk di dalamnya ada harta zakat, fa'i, jizyah dan lainnya. Wallahu a' lam bish showab.

Komentar

Postingan Populer