Bahagia itu Semu, Kaya itu Bencana



Berita tertangkapnya Nia Ramadhani dan suaminya, Ardi Bakrie, sebagai tersangka terkait dugaan kasus narkoba bersama sopirnya ZN (43) oleh Polres Metro Jakpus, Kamis (8/7/2021) menambah panjang daftar pesohor negeri dan artis yang pernah mengalaminya.


Ada apa gerangan? Hidup mereka bertabur harta, fasilitas kemanapun tersedia, kehidupan mereka impian semua orang, nyaris sempurna, bahkan berita Nia Ramadhani tak bisa mengupas salak jadi viral berhari-hari. Mengalahkan korban Covid-19 yang tak mampu bernafas karena sesak menyerang paru-parunya. 


"Yang diamankan satu klip jenis dugaan sabu-sabu 0,78 gram, satu buah bong, atau alat isap sabu-sabu," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus. Kedua suami-istri ini telah diperiksa dan mengakui telah mengonsumsi sabu sejak empat atau lima bulan terakhir. Pengakuan itu juga diperkuat dengan hasil tes urine yang menunjukkan positif mengandung metamfetamin. 


Kasus penyalahgunaan narkoba memang tak pernah tuntas, malah semakin beragam cara, jenis dan usia penggunanya. Terlebih dunia artis dan pesohor negeri,mereka dituntut untuk selalu tampil perfect tanpa cacat, mereka selalu dielu-elukan banyak penggemar, demi tidak mengecewakan penggemar merekapun memaksakan diri tampil selalu bahagia, padahal sebagai manusia biasa mana ada orang yang selalu bahagia? 


Yang terlihat justru yang bahagia itu semu, yang kaya itu bencana. Setiap ujian hidup yang dihadapi pastilah dihadapi dengan berbagai ekspresi, maka, memaksakan harus tampil sempurna adalah siksaan, keluar dari tabiat yang sebenarnya, untuk itulah mereka kemudian lari kepada narkoba. Inilah budaya rusak, yang berkiblat pada cara pandang kepada kehidupan yang rusak.


Harta berlimpah tak berkah meskipun mereka telah menginfakan harta yang banyak dan kegiatan sosial mereka berderet untuk diresmikan atau didatangi. Bisa jadi ini adalah doa mereka yang terzalimi dari kasus Lapindo yang hingga kinipun belum beres. Astaghfirullah...


Kapitalisme yang menjadi aturan yang diterapkan di negeri ini turut memperparah cara pandang yang salah itu. Kesulitan mereka adalah pundi-pundi yang patut dipertahankan, muncullah transaksi dari kedua belah pihak, hukumpun turut melonggarkan penawaran dan permintaan barang haram ini. 


Ironi, ini terjadi di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan pasal pertama pada dasar negara tersebut menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, kepada Tuhan Yang Esa inilah baik dan buruk, benar dan salah sebuah perbuatan disandarkan. Mengapa masih ada pelanggaran?


Bagaimana dengan pemimpinnya? Mengapa diam dan tak bereaksi melihat rakyatnya mabok dan berkutat pada konsumsi barang yang haram agar mereka bahagia? Artinya, penguasa gagal menciptakan kebahagian lahir batin, atau setidaknya arti bahagia yang dimaksud berbeda definisi dan teknik mewujudkannya antara pemerintah dan rakyat. 


Kebahagiaan adalah apa yang di definisikan Allah SWT dalam Quran surat an-Nur 24:52 yang artinya, "Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” 


Semestinya pemimpin yang baik adalah yang mendorong penerapan ayat ini secara menyeluruh, namun sistem pemilihan pemimpin ala demokrasi meniadakan ini, bahkan mustahil bakal lahir pemimpin yang dimaksud itu, sekalipun seribu kali berganti pemimpin, sebab kesalahan terletak pada sistem dasarnya yaitu kapitalisme.


Dan sungguh, kaum Muslim mudah sekali melupakan bagaimana piawainya tim sukses para calon pemimpin itu mempengaruhi pikiran, janji yang di gelontorkan agar suara rakyat bisa didulang pada saatnya tak sebanding dengan apa yang diterima rakyat ketika mereka sudah mendapatkan kedudukan mereka. Mahalnya biaya politik demokrasi di kemudian hari pun membawa masalah yaitu pengembalian modal pencalonan yang luar biasa, sehingga segala cara di kerjakan , mulai gadaikan surat keputusan jabatan, terima gratisifasi, korupsi, kolusi dan tanda tangannya pada proyek-proyek kapitalis yang tak ada hubungannya dengan rakyat. 


Ketika pemerintah yang tak fokus dan rakyat yang kehilangan gambaran kesejahteraan hakiki, muncullah persoalan-persoalan sosial, salah satunya narkoba yang tetap menjadi primadona. Sebab bagi Muslim, sekali lagi bahagia sangatlah jelas bagaimana cara mencapainya. Yaitu taat kepada Allah dan RasulNya, takut kepada Allah SWT dan bertakwa. Merekalah yang mendapat kemenangan, bukankah setiap orang yang menang berbahagia? Dan yang dipahami bagi Muslim, kebahagiaan itu tak berhenti di dunia, namun mengikuti mereka hingga ke akhirat.


Kasus Nia Ramadhani ini menegaskan kepada kita demikian pula pemahaman yang mendalam tentang ayat di atas, bahwa arti kebahagiaan bukanlah diukur dari banyaknya harta, polulernya dia, dan sebagainya, itu hanyalah sandiwara, justru bak air garam ketika diminum mendatangkan haus belaka. 


Saatnya buka mata buka telinga, kita tak bisa terus bertahan dengan kapitalisme sebagai aturan hidup kita, ibarat air dan minyak, kebatilan dan kebaikan tak pernah terjadi. Kapitalisme buruk karena hanya mengandalkan kekuatan manusia, sementara Islam adalah solusi, 1300 tahun pemimpin dunia tak mungkin bisa dibantahkan. Rasulullah tak hanya memberi teladan tentang penerapan sistem yang shahih, bahkan para Khalifah sesudah beliau, jikapun di akhir kemudian runtuh hal itu karena usaha para kafir dengan dibantu kaum munafik dari kaum Muslim sendiri yang lebih mengutamakan kebahagiaan dunia. Wallahu a' lam bish showab.

Komentar

Postingan Populer