Hukum Melumer Ketika Kau Punya Balita

 



Kekuatan nitizen memang tak pernah diragukan, berbanding lurus dengan kerja buzerp. Bedanya, jika nitizen terbuka, sedang buzerp tertutup. Namun dari sisi nyinyir dan vulgar tak ada beda. Mengikuti perkembangan kasus hukum jaksa Pinangki yang cantik, cukup mengejutkan juga jika dari keputusan vonis 10 tahun dipotong menjadi 4 tahun penjara. 


Di PN Jakpus, Pinangki dihukum 10 tahun penjara. Tapi di banding disunat menjadi 4 tahun penjara."Bahwa Terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya. Bahwa Terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil," ujar ketua majelis Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik.


Indonesia Corruption Watch (ICW) pun kemudian memprakarsai petisi online, meminta Kejaksaan Agung untuk segera mengajukan kasasi atas vonis majelis tingkat banding yang menurunkan hukuman Pinangki. "Oleh karena itu, ICW mau ajak teman-teman untuk bersuara lebih keras lagi. Kejaksaan Agung harus segera mengajukan kasasi untuk membuka kesempatan Pinangki dihukum lebih berat. Ketua Mahkamah Agung juga harus selektif dan mengawasi proses kasasi tersebut," seru ICW dalam petisinya. Dan sebanyak 16.542 orang telah menandatangani petisi (detik.com, 20/6/2021).


Kasus pemotongan hukuman ini kembali mengingatkan kita kepada kasus Gisela Anastasia dan Michael Yunobu lawan mainnya, yang hanya menjalani wajib lapor. Sedangkan Vanessa Angel dipenjara karena kasus narkoba, sempat ditahan padahal sedang memiliki bayi yang belum berusia satu tahun. Dengan alasan kemanusiaan mengapa Gisel tidak ditahan padahal anaknya sudah berusia 4 tahun sedang Vanessa anaknya berusia 1 tahun. Apakah kooperatif bisa dijadikan landasan keringanan hukum pula? (diadona.id, 26/1/2021).


Wajah hukum Indonesia yang makin tak jelas. Lumer begitu saja hanya dengan alasan perempuan, kemanusiaan dan memiliki anak, tak peduli lagi kasus yang menjerat mereka amat dahsyat dampaknya di masyarakat. Yang terlihat justru peremehan hukum, bagi korban yang terasa adalah ketidakadilan. Semua bisa diatur dan asalkan bapak senang menjadi motto dalam setiap penanganan. 


Bagaimana Islam memandang?


Setiap kejahatan layak dibalas, entah dengan diyat atau qishas. Syariat telah menjelaskan hukum-hukum sedemikian detil, misalnya tentang pembunuhan, sebagaimana dijelaskan dalam Quran surat Al Baqarah :178, yang artinya," Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh".


Sedangkan hukuman bagi pezina adalah dengan rajam atau dilempari batu sampai mati. Sedangkan pada pelaku zina yang belum menikah, hukumannya dengan hukum cambuk sebanyak 100 kali serta diasingkan selama satu tahun.


"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman." (Q.S. An Nur: 2).



Begitupun dengan kejahatan yang lain, tak ada istilah kemanusiaan dan lainnya sebagai alasan pelaku tidak dihukum. Sebab dalam Islam, hukuman di dunia bermakna dua, pertama sebagai jawazir, yaitu agar jera, baik bagi pelaku maupun masyarakat yang melihat eksekusi hukumannya. Kedua adalah jawabir atau penebusan dosa, atas kejahatannya di dunia, ia tak akan dihukum lagi ketika sudah di akhirat. 


Hukuman penjara tidak direkomendasikan bagi setiap kejahatan, sebab tidak efektif dan tidak manusiawi. Seringkali negara justru diberatkan pada hukuman jenis ini, dari mulai biaya operasional yang mahal, sarana dan prasarana yang minim dana, sehingga kadang muncul kasus narapidana kabur karena tingkat keamanan mudah dibobol, belum lagi dengan petugas penjara yang mudah disogok, sehingga marak kasus kejahatan di dalam penjara yang justru melibatkan oknum petugas penjara. 


Landasan hukum KUHP sebenarnya sudah usang dan tak pernah menciptakan keadilan, wajar, kumpulan hukum itu buatan manusia, parahnya lagi disusun oleh Belanda. Maka, secara historis dan yuridis, diambilnya sumber hukum dan cara melahirkan hukum itu sudah tidak shahih, masihkah kita berharap pada hukum saat ini? Jelas tidak! Kita butuh hukum yang lebih adil dan manusiawi, yaitu syariat. Wallahu a'lam bish showab.

Komentar

Postingan Populer