Revisi UU ITE, Pendapat Siapa yang Didengar?


Terpampang berita mengejutkan dengan judul luar biasa "Tim Pengkaji UU ITE Undang Nikita Mirzani Bahas Revisi Pasal". Dilansir dari CNNIndonesia.com, 2 Februari 2021, Ketua Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Sugeng Purnomo mengatakan pihaknya kembali mengundang sejumlah pihak dari kalangan terlapor dan pelapor yang pernah terjerat beleid tersebut.


Pihak itu diantara lain Nikita Mirzani, Prita Mulyasari, hingga Ravio Patra. Hal ini dilakukan untuk mengumpulkan masukan dari para narasumber yang pernah bersinggungan dengan UU ITE. Agar dapat memulai revisi dari sejumlah pasal dalam UU tersebut.


Sejumlah narasumber ini akan dimintai masukan terkait pasal-pasal yang dianggap karet di UU ITE ini. Hasilnya adalah pendapat perlunya kejelasan penormaannya dan implementasinya pada pasal 27 dan pasal 28 UU ITE. 


Tim Kajian UU ITE ini dibentuk Menko Polhukam Mahfud MD setelah kembali beleid tersebut terkait pasal karet. Revisi ini sekaligus menjalankan peringatan Presiden Jokowi adanya ketidakadilan dari hulu. Lantas mengapa Nikita Mirzani yang justru dimintai pertimbangan? 


Bukankah seharusnya meminta pendapat pada ahlinya, yang jelas paham dengan fakta komunikasi? Jika kapasitasnya hanya karena ia pernah tersentuh oleh suatu kasus bisakah jadi jaminan ia paham UU? Namun memang susah dinalar apa yang menjadi kebijakan penguasa hari ini. Dengan kasus yang sama namun di lapangan eksekusinya berbeda. 


Persoalan kerumunan antara presiden dan Seorang ulama, beda penyikapan. Demikian pula dengan ucapan, berbeda antara satu orang dengan yang lain, meskipun yang dibicarakan adalah masalah yang sama. Persoalan adalah kepentingan siapa yang bermain. Terlebih lagi standar penguasa hari ini bukan Ri'ayah ( pengurusan) urusan umat agar tercapai maslahat, namun sekedar untuk mengamankan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan plus modal.


Sekularisme memang susah diharapkan untuk adil atau meniadakan pasal karet, ibarat pepatah Jawa"Jujur ajur" (jujur=hancur.jawa.pen), kejujuran dalam berbicara tak lagi dibutuhkan . Kemunafikan justru menjadi komoditas yang senantiasa dikenakan oleh penguasa maupun publik figur. UU ITE yang sedianya digunakan untuk menertibkan informasi hoax dan mengancam persatuan dan kesatuan negara justru hari ini menjadi senjata bagi penguasa yang berlindung di baliknya untuk menyingkirkan mereka yang ingin mengubah sistem yang zalim ini. 


Masalah kegaduhan dalam negeri dalam sistem Islam berada pada tanggungjawab departemen dalam negeri. Melalui kesatuan Surtho ( kepolisian) penerapan sistem diperkuat, di jaga sekaligus sebagai eksekutor ketika ada pelanggaran. Menjamin ketenangan didapat masyarakat hingga individu perindividu dari gangguan pembegal, pencurian, kecurangan, penghilangan nyawa dan lain-lain termasuk di dalamnya penodaan nama baik. 


Warga negara bukan target pengawasan maupun UU komunikasi, melainkan orang yang dicurigai saja ada kecenderungan berhubungan dengan kafir harbi fi'lan atau Hilman ( kafir yang memerangi kaum Muslim baik yang nyata memerangi maupun yang terikat perjanjian dengan negara).


Surtho akan berkeliling memeriksa setiap jengkal wilayahnya berikut mengikuti perkembangan pengamatan satu data yang dianggap mencurigakan. Termasuk kriminalitas siber dan komunikasi. Tentulah ini karena landasannya adalah akidah Islam, yang mampu menyelesaikan persoalan hingga tuntas. Bukan dengan kerja serampangan. Sebab setiap amal kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT, bukan berhenti di dunia saja. Wallahu a'lam bish showab.

Komentar

Postingan Populer