Nasib Rakyat Kecil, Kesejahteraan pun Harus Dicicil

 



Hari Raya Idul Fitri masih dua bulan lagi, Ramadan pun belum dijalani, namun pemerintah sudah sibuk membicarakan Tunjangan Hari Raya (THR). Bukannya fokus pada penangan Covid-19 agar Ramadan benar-benar khusyuk. 



Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Anwar Sanusi menargetkan aturan khusus Tunjangan Hari Raya (THR) 2021 diterbitkan pada awal ramadan. Saat ini, aturan masih pada tahap pembahasan dan pengumpulan masukan. "Terkait dengan rumusan kebijakan THR saat ini sedang kami telaah apakah sama dengan 2020 atau ada penyesuaian," ujarnya. 


Anwar mengungkapkan pemerintah sedang mempertimbangkan apakah relaksasi yang diberikan pada 2020 akan kembali diberlakukan tahun ini dalam pembayaran THR. Dalam hal ini pemerintah mengizinkan perusahaan swasta melakukan tunda atau cicil pembayaran THR Keagamaan pada 2020. Namun, pembayaran THR yang dicicil atau ditunda ini tetap harus diselesaikan pada 2020.


Izin ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).


Direktur Pengupahan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI JSK) Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani mengatakan masih mempelajari situasi perusahaan di dalam negeri.


Jika perusahaan yang terdampak pandemi covid-19 masih banyak, maka bukan tidak mungkin pemerintah menerapkan kebijakan pembayaran THR yang sama seperti 2020 lalu (CNNIndonesia, 18/3/2021).


Betapa pelik nasib rakyat kecil di negeri ini, untuk sejahtera saja uang THR saja boleh dicicil. Padahal biasanya, menjelang Ramadan saja harga barang kebutuhan pokok sudah merangkak naik. Rasanya adanya pandemi Covid-19 ini juga tidak terlalu berpengaruh, tradisi mudik pasti masih akan dilakukan. Maka, bisa dikalkulasikan kebutuhan satu keluarga pasti akan lebih besar dari biasanya. 


Jika sudah tradisi maka semestinya yang dipersiapkan pemerintah adalah penanganan Covid-19, tak cukup sekedar solusi protokoler kesehatan dan vaksin. Terlebih ada ancaman virus Corona versi terbaru juga sudah masuk di Indonesia. Semua agar Ramadan dan Idul Fitri yang merupakan agenda tahunan bisa berjalan lebih baik lagi. 


Inilah akibatnya jika urusan kesejahteraan dibebankan kepada perusahaan. Faktanya hari ini mana ada perusahaan yang mau merugi lantas dengan sukarela membagi profit mereka untuk THR para pegawainya. Yang ada kemudian upaya lobi-lobi kepada penguasa agar ada payung hukum yang melegalkan rasa berat mereka. Fokus pemerintah tak lebih dari mengubah satu persatu UU yang semula sudah disahkan untuk kembali direvisi. 


Dan sebetulnya tidak salah jika para pegawai merasa keberatan. Sejahtera memang kata kunci yang juga ingin mereka rasakan. Disinilah bukti bahwa pemerintah tak sedang merentangkan tangan menanti rakyat dan kemudian memberinya kehangatan sebuha keluarga.


Pengusaha pun tak salah, sebab tujuan ia membangun perusahan adalah untuk memperoleh laba, maka satu-satunya yang berakibat tak sejahterahnya rakyat adalah sistem aturan yang melingkupinya. Yaitu UU buatan manusia dan seratus persen hanya mengandalkan maslahat (kepentingan) pada satu golongan saja, yaitu pengusaha. 


Maka sinergi pemerintah dan penguasa ini memang menimbulkan kemudharatan tak berkesudahan. Hampir setiap tahun saat peringatan hari buruh , 1 Mei, terjadi tarik ulur kepentingan antara pengusaha dan pekerja. Lantas bagaimana Islam memandang masalah ini?


Ada perbedaan antara kewajiban negara dan kewajiban perusahaan, yang keduanya harus clear. Hubungan antara pekerja dan pemilik pekerjaan (pengusaha) adalah sekadar apa yang disepakati untuk dikerjakan, baik itu berupa benda atau jasa. Di dalam akad termaktub jumlah ujrah (upah), waktu dikerjakannya berapa lama, dan sebagainya. 


Maka ketika pihak pengusaha dan pekerja telah sepakat sahlah kerjasama mereka. Dan perusahaan tidak ada kewajiban menanggung kesejahteraan pekerja. Beban itu beralih kepada negara sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).


Kata raa'in yang artinya pengurus rakyat maka ada keharusan memenuhi kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Jika pemimpin abai dalam mewujudkan semua ini maka ia akan berdosa. 


Dengan cara ini maka tak ada peninjauan kembali kebijakan apakah THR akan dicicil atau tidak. Bahkan THR itu tak ada dalam Islam, THR muncul sebagai akibat dari kegagalan negara menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ketika memberikan solusi juga kurang tepat, karena dibebankan kepada perusahaan yang secara syariat tidak ada kewajiban baginya. 


Lebih parahnya upah hari ini dihitung dengan Upah Minimum Kerja (UMK), dengan standar harga barang, dimana ini faktanya selalu berfluktuasi tergantung mekanisme pasar, selain itu setiap daerah berbeda besaran, hingga benar-benar tak dapat ditarik garis merah kesejahteraan itu bisa dinikmati rakyat. Jika daerah itu surplus maka besaran upah tinggi sebaliknya jika wilayah itu minus maka upah akan rendah. Belum lagi ada pajak yang dipungut pemerintah makin membuat pengusaha gerah dan para pekerja terlunta-lunta.


Pemerintah sendiri bekerja berdasar pesanan para kapitalis, maka terbitlah UU Cipta kerja atau Omnibuslaw yang cenderung berpihak pada pengusaha. Maka masihkah kita betah berlama-lama menggunakan aturan yang bukan berasal dari Sang Maha Hidup? Wallahu a'lam bish showab.

Komentar

Postingan Populer