Kewajiban Suami tak Terbatas di Peraturan Pemerintah

 



Dilansir dari Kompas.com, Sabtu, 20 Maret 2021, PNS cerai: gaji suami dipotong separuh untuk mantan Istri. Aturan tuntutan hak setengah gaji suami berstatus PNS itu diatur dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Regulasi ini kemudian mengalami perbaruan setelah keluarnya PP Nomor 45 Tahun 1990.


Dalam pasal 8 ayat (1) PP 10/1983 menyatakan "Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya”. Pasal tersebut juga mengatur prosedur cerai suami istri PNS. Masih pasal yang sama di ayat 5 berbunyi, “Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya”.


Sementara apabila istri juga berstatus PNS, suami yang menceraikan istrinya juga tetap wajib memberikan sebagian gajinya untuk mantan istri. Namun, hak gaji untuk istri tak bisa diberikan apabila perceraian terjadi karena istri melakukan perbuatan zina, melakukan KDRT terhadap suami, dan istri meninggalkan suami tanpa izin selama dua tahun berturut-turut. Artinya hak istri bisa menerima setengah gaji dari mantan suaminya adalah jika putusan bercerai datang dari pihak suami yang bekerja sebagai PNS sekaligus status pernikahannya belum dikarunia anak.


Bagi pasangan yang sudah memiliki anak, gaji suami berstatus PNS dibagi menjadi tiga, yakni sepertiga untuk suami, sepertiga untuk anak, dan sepertiga untuk istri yang diceraikan. Hak ini akan hilang ketika istri menikah lagi (pasal 8 ayat 7) (Kompas.com, 20/3/2021). 


Memang negara berhak mengatur rakyatnya, namun bukan berdasarkan pendapat atau pemahaman manusia itu sendiri. Sebab pasti akan menimbulkan pertentangan. Sekilas PP nomor 10/ Tahun 1983, begitupun peraturan pembaharuan ya, PP Nomor 45/ Tahun 1990 akan memberikan kebaikan bagi masyarakat. Dan mengapa hanya diatur untuk PNS, sedangkan rakyat Indonesia tak semua PNS , belum lagi dengan syarat yang menghilangkan hak istri jika ia terbukti berzinah atau yang menggugat cerai. 


Terlihat landasan Peraturan Pemerintah ini sekularisme. Hanya mengambil manfaat semata yaitu untuk mengontrol PNS agar makin jauh dari syariat. PP ini banyak tak sesuainya dengan syariat, malah ditakutkan benar-benar bukan berdasarkan syariat. Dan seharusnya juga peraturan itu bukan hanya untuk PNS, namun seluruh rakyat Muslim, sebab pemerintah adalah pemimpin yang berkewajiban menerapkan syariat. 


Maka, pemimpinlah yang mengawal rakyatnya agar mudah beribadah kepada Allah SWT, agar hidup pun bertambah berkah. Terutama dalam masalah pernikahan, yang merupakan lembaga terkecil dalam negara, jika keluarga kuat maka akan mampu menopang negara menjadi maju dan terdepan. Dari pernikahan yang bahagia lah itu semua bermula. 


Maka, jika PP Hanya disandarkan pada fakta yang ada dan bukannya menyelesaikan akar persoalan mengapa keluarga harus bercerai, tentulah akan terus menerus ada yang terzalimi. Yaitu pihak perempuan. Masalah yang paling lazim adalah tidak terpenuhinya kesejahteraan, mendapatkan separo dari gaji tentu tak adil, sementara dalam Islam hal itu akan diberikan sesuai kemakrufan.


Kebijakan ini memang sebuah kebijakan tambal sulam, yang tak akan pernah membawa pada kesejahteraan hakiki. Solusinya kembalikan kepada keputusan sang pembuat hukum, Allah SWT. Bahwa meskipun istri sudah bercerai namun masih ada hak anak yang terlahir dari hasil perkawinnya. Yang selamanya tak akan hilang dengan berubahnya status kedua orangtuanya. Wallahu a'lam bish showab.

Komentar

Postingan Populer