Hibah, Paksa Pariwisata Berdaya Guna



Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menggelontorkan dana hibah pariwisata Rp 3,3 triliun untuk membantu para pelaku pariwisata yang terdampak pandemi Covid-19. Dana hibah tersebut hanya diberikan bagi pelaku usaha hotel, restoran, dan pemerintah daerah.


Baik yang berada di destinasi wisata, atau pun tidak. Hal tersebut diungkapkan oleh Deputi Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf Hari Santosa Sungkari dalam acara diskusi strategis Redefining Sustainable Tourism Roadmap secara daring, Selasa, 9 Maret 2021.


“Untuk permodalan kita ada namanya hibah 50 juta untuk pelaku ekraf. Itu hibah tapi, harus bersaing,” kata Hari. Selain dana hibah berbentuk uang, Hari juga menyebut adanya program bantuan pemerintah khusus untuk komunitas atau yayasan dan tidak bisa diajukan perorangan. Bantuan yang dimaksud berbentuk peralatan yang akan mendukung aktivitas produksi.


Hari juga menekankan betapa pentingnya digitalisasi terkait keberhasilan upaya memajukan ekraf di Indonesia. Termasuk sektor ekraf yang ada di destinasi wisata. Sebab, pandemi sangat berpengaruh terhadap kedatangan wisatawan. Total ada 17 subsektor di ekraf, di antaranya adalah aplikasi, game, arsitektur, desain interior, desain visual, desain komunikasi publik, musik, film, fashion, seni rupa, seni pertunjukkan, dan masih banyak lagi (kompas.com,13/3/2021).


Pasalnya, pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi sektor ekraf. Terbukti beberapa subsektor ekraf yang bisa mengandalkan digitalisasi di masa pandemi ini masih cukup bisa bertahan dengan baik. Hari menyebut total ada 17 subsektor di ekraf, di antaranya adalah aplikasi, game, arsitektur, desain interior, desain visual, desain komunikasi publik, musik, film, fashion, seni rupa, seni pertunjukkan, dan masih banyak lagi (kompas.com,13/3/2021).


Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Budi Tirtawisata mengatakan dana hibah pariwisata ini memang dibutuhkan, demikian pula dengan Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan bahwa dana hibah pariwisata merupakan angin segar untuk hotel dan restoran. Meskipun di sisi lain mereka mengkritik kebijakan pemerintah terkait dengan program destinasi super prioritas (PDSP). Menurut Maulana, program ini tidak bertujuan untuk menggerakkan pariwisata domestik dan tidak tepat terus dikembangkan selama pandemi seperti saat ini.


Program ini juga ia nilai cenderung bertolak belakang dengan program Berwisata di Indonesia yang dicetuskan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan yang juga didukung Kemenparekraf. Selain karena pola berwisata wisatawan nusantara (wisnus) sudah bisa dipetakan dari tahun ke tahun. Setiap tahunnya pola tersebut akan berulang. Ditambah dengan kebijakan potongan cuti dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), makin membuat pengusaha hotel dan restoran tak bisa bergerak, dana hibah ini mungkin juga tak terlalu banyak menolong karena banyaknya kewajiban yang harus dibayar meskipun pandemi berlangsung.


Sejatinya dana hibah ini hanyalah kebijakan paksaan dari pemerintah karena tak lagi tahu upaya apalagi guna mendongkrak perekonomian yang makin lesu meskipun segala upaya sudah dilakukan. Kita juga patut waspada darimana asal dana hibah ini, bukan tak mungkin ada pesanan investor yang sudah gerah karena pandemi tak kunjung usai yang kemudian meluluhlantakkan usaha mereka. 


Seberapa besarnya pemasukan dari pariwisata bisa dipastikan tak akan mampu menjadikan masyarakat sejahtera, selain kita lagi-lagi masuk ke dalam jeratan hutang atas nama hibah. Kekayaan Indonesia diciptakan Allah SWT tentu bukan tanpa maksud, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dengan menjadikan kekayaan Daulah Islam di Madinah mandiri dengan melakukan transaksi ekonomi real. Bukan disandarkan pada manfaat semata atau malah pada utang kepada negara lain. 


"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadist ini begitu Mashyur yang artinya seluruh kaum Muslim boleh memiliki kekayaan Alam di negeri mereka tanpa halangan. Maka hari ini bisa dipastikan ada salah urus. Negara tidak hadir sebagai wakil bagi rakyatnya dalam mengelola SDA dan mengembalikan manfaatnya kepada Rakyat. 


Pariwisata sejatinya hanyalah sarana untuk tadabbur alam ciptaan Allah SWT, agar kita refreshing dan bertambah ucapan syukur atas semua penciptaan itu. Maka pariwisata juga tak boleh menjadikan hukum kafir sebagai standar. Seperti membolehkan miras diperjualbelikan bebas dengan alasan pendukung pariwisata, bercampur baur laki-laki dan perempuan, mendirikan bangunan atau patung yang terlarang dalam Islam dan lain-lain. Semua agar berkah dan apa yang dituju dari mendatangi tempat wisata tercapai. 


Ketika pariwisata dibangun atas asas manfaat semata maka yang terjadi justru kerusakan. Baik masyarakat, ekosistem maupun akidah umat. Akankah ini dilanjut tanpa pertanggungjawaban? Wallahu a' lam bish showab

Komentar

Postingan Populer