Kebijakan Tanpa Hati Nurani

Bagi warga yang sudah lama ingin membeli mobil, kebijakan pemerintah kali ini bisa jadi membahagiakan. Sebab mulai bulan  Maret, pajak Mobil Baru 0% alias gratis. Tepatnya  selama tiga bulan pertama untuk mobil di bawah 1500 cc PPnBMnya didiskon sampai 100 persen. Tiga bulan selanjutnya didiskon 50 persen dan tiga berikutnya diskon 25 persen. 


Pemerintah berharap dengan  insentif ini,  harga mobil jadi lebih murah. Ke depannya bisnis otomotif selama pandemi yang anjlok bisa pulih kembali sekaligus mendongkrak perekonomian negara. Apalagi momennya bertepatan dengan bulan puasa dan tradisi mudik Hari Raya Idul Fitri yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia.


Lantas mengapa dipilih  segmen mobil di bawah 1500 CC, sebab menurut menteri Sri Mulyani, segmen inilah yang diminati   kelompok masyarakat kelas menengah dan memiliki komponen lokal di atas 70 persen. 


Benar-benar kebijakan tak berhati nurani, berapa masyarakat yang terdampak dan tidak sehingga begitu mementingkan beli mobil baru daripada bebas dari pandemi ini ? Beberapa pihak bahkan meminta pemerintah untuk memperhatikan BPJS agar preminya tak terus menerus naik. 


Ekonom Indef, Bhima Yudistira mengkritik kebijakan ini sebagai kebijakan yang tak pada tempatnya, kondisi pandemi, masyakatpun sedang menjalankan PPKM, dimana ini berarti ada pembatasan kegiatan keluar kota. Tentu bukan diskon pajak barang mewah yang diprioritaskan rakyat, namun bagaimana kebutuhan sehari-hari ini bisa terpenuhi dengan baik. Tak semua rakyat Indonesia ini kaya. 


Anggota Komisi IX DPR, Kurniasih Mufidayati menyarankan, pemerintah sebaiknya meninjau ulang kenaikan tarif BPJS Kesehatan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020. Hal ini seiring kondisi surplus sebesar Rp 18,7 triliun yang dialami BPJS Kesehatan pada tahun lalu.


“Direksi BPJS Kesehatan yang akan berakhir masa kerjanya, harusnya menutup masa kerjanya dengan memberikan kado terbaik untuk rakyat dengan menurunkan premi BPJS Kesehatan sama dengan besaran premi yang lama,” kata Kurniasih (wartaekonomi.co.id, 14/2/2021)


Namun mengapa kesannya pemerintah memanjakan orang kaya dan meminggirkan kaum miskin lagi papa? Sebab beginilah posisi orang kaya dalam sistem kapitalisme, merekalah orang yang sebenarnya berkuasa hakiki di negeri ini, uang mereka lebih memberikan manfaat daripada rakyat yang memberatkan. Sungguh pemimpin yang mengadopsi kapitalisme akan berhadapan dengan Allah SWT dalam keadaan terhina. 

Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah Ra, bahwasannya Rasulullah pernah berdoa:

"Ya Allah, siapa yang mengurusi satu perkara umatku, lalu ia menyulitkan umat, maka persulitlah ia. Dan siapa yang mengurusi perkara umatku, lalu ia memudahkannya, maka permudahlah ia". (H.R. Muslim)

Jikapun pajak mobil ini digratiskan, tak akan bisa menumbuhkan ekonomi sebagaimana harapan pemerintah, ujung-ujungnya memang rakyatlah yang menjadi obyek penderita, sebab, pungutan pajak pada segmen yang lain tetap. Meskipun subsidi di sana sini sekalipun, masalahnya pajak dan utang negara inilah pemasukan utama APBN negara. Di sinilah akar persoalannya. 


Kapitalisme membolehkan privatisasi sektor ekonomi yang peruntukkan dasarnya adalah untuk maslahat umat, yaitu sumber daya alam (SDA) negeri ini yang melimpah. Dari kekayaan hutan, laut, sungai, Padang gembalaan. Kemudian kekayaan bawah tanah seperti minyak, berbagai mineral, batu bara, uap , gas dan lain sebagainya. Jika semua itu dikelola negara sebagaimana bunyi hadis berikut: 

Dari Ibnu Abbas RA berkata sesungguhnya Nabi saw bersabda" orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu; air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya: air yang mengalir "(HR Ibnu Majah).

Kemudian hasil pengelolaannya dikembalikan kepada rakyat baik secara zatnya secara langsung seperti BBM, listrik, pengelolaan saluran air dan sebagainya maupun yang diperuntukkan pembiayaan kebutuhan pokok rakyat berupa sandang, pangan, papan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Berikut juga pembangunan berbagai infrastruktur yang konsepnya adalah untuk mempermudah urusan rakyat. 

Dengan pengaturan seperti penjelasan di atas, maka negara akan mandiri, tak akan berutang ataupun memungut pajak kepada rakyat sebagai pembiayaan operasional negara. Rakyatpun akan sejahtera, sebab mereka tak terbebani dengan pemenuhan kesejahteraan yang besar biayanya melebihi kemampuan mereka. 

Dalam Islam pengelolaan SDA adalah salah satu pos dalam Baitul mal, sebagai salah satu pos pemasukan negara selain Kharaz, fa'i dan zakat. Semua di atur oleh syariat Allah, bukan kapitalisme yang merupakan aturan manusia. Pajak akan dipungut jika benar-benar Baitul mal dalam keadaan kosong sedang kewajiban negara harus tetap terlaksana, semisal jihad, pendidikan dan kesehatan. Itupun bukan langsung pajak melainkan dengan tabaruat ( sumbangan sukarela) kepada rakyat yang kaya saja. 


Pajak hanya ditarik sebatas kebutuhan yang wajib dikeluarkan negara terpenuhi. Jika berkelanjutan bahkan hingga setiap tahun dianggap bentuk kezaliman. Maka, masihkah ada tandingan sistem Islam dengan sistem yang lain? Wallahu a'lam bish showab. 



Komentar

Postingan Populer