BLT Tak Lanjut, Kebijakan Parsial dan Temporal

 



Kepada pekerja bergaji di bawah Rp5 juta tahun ini harus lebih kencangkan ikat pinggang. Sebab golongannya tidak ada anggaran menjadi penerima BLT subsidi gaji atau upah dalam APBN 2021. 


Sedih? Pasti. Kecewa tentu saja, namun bagaimana lagi, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan hal itu kepada media usai menyaksikan penandatanganan MoU antara Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) Medan Ditjen Binalattas dengan mitra, asosiasi/industri di BBPLK Medan, Sabtu, 30 Januari 2021. 


"Kami masih menunggu, sementara memang di APBN 2021 belum atau tidak dialokasikan. Nanti, kami lihat bagaimana kondisi ekonomi berikutnya, tetapi memang tidak dialokasikan di APBN 2021," ujar Ida dalam rekaman yang dibagikan Biro Humas Kemenaker (CNN Indonesia.com, 1/2/2021).


Pemerintah, menurut Ida Fauziyah tak akan berlepas tangan, masih banyak program yang akan diterapkan, faktanya pandemi covid-19 setidaknya telah meningkatkan jumlah pengangguran menjadi 9,77 hingga Agustus 2020.


Pencairan BLT periode pertama berakhir Desember 2020, namun sebenarnya pencairannya sendiri belum mencapai 100 persen pada Januari lalu. Ada banyak kendala yang menurut pemerintah akan ada penjelasannya nanti. 



Di kesempatan sebelumnya, Ida Fauziyah mengungkapkan dari total pengangguran dampak Covid-19, terdapat 623.407 pekerja perempuan. Beberapa dari mereka dirumahkan, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pemulangan pemagangan akibat Covid-19. Meskipun angkanya lebih rendah daripada pekerja pria, namun beban yang dipikul oleh perempuan lebih berat. 


Diantaranya selain pendapatan berkurang, di dalam rumahnya perempuan juga menghadapi kesulitan dampak work from home, learning from home dan kekerasan fisik dalam rumah tangganya ( CNN Indonesia, 5/1/2021).


Padahal boleh dikata perempuan adalah pihak terlemah dalam sistem kapitalime hari ini. Apalagi kebijakan yang samasekali tak berpihak padanya, termasuk kebijakan yang parsial dan temporal seperti BLT. Berapa orang yang bisa tercover dengan kebijakan ini, selain nominalnya yang terbatas, juga waktunya tidak terus menerus. 


Cara pandang yang berbeda inilah yang berakibat timbulnya ketimpangan. Kaya bertambah kaya sedang miskinpun demikian. Tak ada yang menjembatani, pemerintah sebagai institusi terpercaya yang mampu dijadikan sandaran masyarakat seolah mandul dan sudah terkooptasi oleh kebijakan yang lebih tinggi lagi. 


Dalam negara dengan sistem kapitalis, peran negara memang diminimalisir, urusan yang menjadi fokusnya adalah menjadi perantara bukan pengurus (Ri'ayah), meskipun mereka Muslim yang seharusnya fokus pada penerapan syariat. 


Akibatnya sebagaimana yang tergambar hari ini, bencana alam yang datang silih berganti, tak terprediksi, namun dana yang digunakan untuk menanggulanginya tak bisa dibilang sedikit. Kemana untuk mencari perlindungan? Padahal kekayaan Indonesia sangatlah bermacam-macam dan berlimpah. Tak satupun mampu mensejahterakan rakyat Indonesia secara hakiki. 


Semestinya kembalikan hak pengelolaan SDA kepada kaum Muslim. Dengan posisi negara sebagai wakil rakyat, sehingga negara bisa menguasai dan mengelolanya. Hingga tak akan dibutuhkan lagi kebijakan parsial macam BLT dan lain-lain. 


Kita perlu menegakkan kesadaran, bahwa bencana alam ini bukan semata fenomena namun teguran, begitu pula kesehatan jiwa dan jaminan hidup masyarakat bukanlah khayali jika bukan hari ini munculnya, hingga kapan mereka bertahan dengan kekhufuran mereka? Wallahu a' lam bish showab.


Komentar

Postingan Populer