Tolak Lockdown atau Gagal Paham?



Dan bapak ini masih bilang beruntung? Inilah pertanyaan yang paling viral di dunia Maya, terutama di Twitter. Pasca pidato presiden dalam acara penyerahan bantuan modal kerja (BMK) kepada pelaku usaha mikro kecil di Istana Bogor, Jumat, 8 Januari 2020.


"Kita ini kalau saya lihat Alhamdulillah masih beruntung tidak sampai lockdown. Kalau di negara lain seperti Eropa sampai 3 bulan. Bahkan London Inggris baru saja lockdown lagi. Bangkok juga lockdown, Tokyo juga statusnya darurat," kata presiden.


 Menurutnya pemerintah memang sejak awal memilih melakukan pembatasan aktivitas masyarakat ketimbang menutup wilayah. Padahal negara-negara lain, menjalankan kebijakan lockdown demi memutus rantai penularan Covid-19 (republika.co.id, 8/1/2021).


Protokol kesehatan dianggap sudah menjadi jurus terampuh untuk menekan laju penularan Covid-19. Dengan kombinasi antara vaksinasi Covid-19 diharapkan kekebalan komunal atau herd immunity bisa segera terbentuk. "Kalau itu terbentuk, Insya Allah Covid-nya stop," ucap Jokowi cukup meyakinkan. 


Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kembali diberlakukan yaitu mulai 11 hingga 25 Januari untuk daerah Jawa-Bali, terutama daerah yang memenuhi kriteria. Meski berganti istilah menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) namun sifatnya tetap sama dengan PSBB dan pasti bukan Lockdown. 


Bisa jadi inilah salah satu alasan mengapa Covid-19 enggan beranjak di Indonesia. Padahal keadaan rakyat dan perekonomian sudah babak belur. Ada pemahaman bahwa Lockdown dianggap tujuan ataupun capaian. Padahal sebenarnya Lockdown adalah sarana untuk membantu beban negara terutama Menkes untuk mengurangi jumlah infeksi baru agar rumah sakit tidak kolaps.


Jika memang ingin mati-matian menangani Covid-19 maka bisa mengambil langkah Lockdown. Sebab sudah berapa banyak korban berguguran baik dari nakes, tenaga pendidik, kepala daerah hingga rakyat biasa. Rumah sakit pun sudah banyak yang kewalahan menampung pasien yang terus berdatangan. Semestinya hal ini tak hanya dianggap sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) semata. 


Namun inilah wajah asli demokrasi. Berkolaborasi manis dengan kapitalisme, menciptakan sosok penguasa yang tak peduli dengan rakyat. Arah pandangnya hanya berorientasi pada ekonomi, pertumbuhan dan kemajuannya. Keselamatan urusan nanti. Semua serba dihitung untung ruginya.


Meskipun pemerintah mengaku memiliki dana yang dikhususkan untuk penanganan Covid-19, tak tanggung-tanggung, jumlahnya hingga 110 milyar. Namun tak akan mencukupi jika digunakan pembiayaan Lockdown. Sebab negara memiliki konsekwen untuk membiayai penuh mereka yang positif dan terdampak. Inilah "beban" yang seharusnya tak ditanggung negara. 


Sebab dana itu berasal dari utang yang harus dibayar beserta bunganya. Darimana dana untuk pembayaran? jelas salah satunya dari pajak yang dibayarkan rakyat, jika pemerintah menerapkan Lockdown rakyat tak berkutik, faktor-faktor ekonomipun akan mandeg atau setidaknya mengalami pembatasan. 


Lantas apakah tujuan bernegara bisa disebut berhasil tercapai? Jelas tidak, karena negara bisa terkatagori melalaikan tugas dan kewajibannya. Bagaimana dengan Islam? Sebagai Dien dan sekaligus syariat maka Islam telah memiliki metode baku untuk menyelesaikannya. 


Perkara pembiayaan, syariatpun telah mengaturnya melalui Baitul Mal dari pos kepemilikan umum dan fai dan kharaz. Jika Baitul Mal dalam keadaan kosong maka negara akan menarik dari kaum Muslim yang kaya saja, hal itu dilakukan sepanjang kebutuhan Baitul Mal telah cukup. Sebab pada dasarnya menunaikan maslahat umum adalah kewajiban seluruh kaum Muslim namun bisa diwakilkan kepada pemimpin. 


Arah pandang kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengurusi urusan umat. Samasekali bukan berdasar asas manfaat. Rasulullah Saw sepanjang hidup beliau telah mencontohkan. Maka adakah pilihan bagi kita kaum Muslim untuk mengadakan institusi penerap syariat di atas? Wallahu a' lam bish showab. 



Komentar

Postingan Populer