Duet Maut Militer dan Ulama, Pengawal Kemenangan?




Pemilu masih 2024, namun jalur pencarian calon pengisinya sudah mulai bergerilya hari ini. Tak mau kalah langkah bagaikan ayam jago berkokok tak mau didahului menyingsingnya sinar mentari. 


Dilansir SINDOnews, Sabtu, 9 Januari 2021, nama Ketua Umum DPD Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Muhaimin Iskandar paling santer masuk bursa pemilihan Capres dan Cawapres. 


Nama mereka masuk dalam kandidat urutan 5 besar dalam survey. Masyarakat menilai mereka perkawinan militer dan santri.


Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah mengatakan ,"Secara Ketokohan cukup menjual, AHY mewakili sekaligus penggerak suara kalangan muda Nasionalis, sementara Muhaimin membawa ceruk santri"


Dedi menambahkan performa personal keduanya, baik ketokohan mereka maupun sama-sama bersuku Jawa masih harus disinergikan dengan performa politik yakni Demokrat dan PKB yang saat ini belum mampu mengakomodir Parpol lain untuk berkoalisi (premerdwk.com, 9/1/2021)


Inilah jebakan demokrasi, kita disibukkan dalam bursa pemilihan pemimpin . Pemimpin terdahulu bisa jadi sebuah kesalahan atau kekurang tepatan maka pada masa pemilihan yang akan datang bisa diperbaiki. Padahal tidak semudah itu. 


Jelas dari pendapat Dedi Kurnia Syah tergambar betapa kejamnya sistem demokrasi ini, tak cukup hanya kompentensi masing-masing, namun juga harus melihat seberapa kuat partai mereka di mata masyarakat ( baca di mata partai lain yang lebih kuat). Untuk itulah koalisi jadi solusi. Padahal, seringkali jika sudah koalisi, maka idealisme partai di awal bisa kabur bahkan pupus. 


PKB sebagai partai Islam tentunya menjadi harapan bagi kaum Muslim untuk menggiring perubahan, awalnya, namun dalam perjalanan berikutnya akan koalisi dengan partai Nasional, sebagaimana dilansir Republika.co.id, 8 Juli 2020, kesepakatan PKB dan Demokrat berkoalisi di 30 daerah belum final dan bisa bertambah. Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Gus Ami (Cak Imin). 


Disinilah titik kritis itu terjadi. Kepentingan umat Islam yang terwakili dalam AD/RT partai Islam hilang, lantas bagaimana bisa mengakomodir kepentingan kaum Muslim jika terus menerus terjadi demikian? Berganti menjadi kepentingan nasional, itupun masih tanda tanya, sebab dari fakta yang terjadi fakta nasionalpun telah terkooptasi misinya oleh korpotokrasi, lingkaran pengusaha yang sudah mendanai sejak awal hingga merek naik tahta. 


Akhirnya yang terjadi adalah politik balas Budi. Lebih jauh berubah menjadi ajang menyelamatkan kepentingan individu ataupun partai. Kampanye hanya jargon kosong, giliran mereka menjadi pejabat, yang ada dibenaknya hanyalah bagaimana berbisnis dengan rakyat untuk memenuhi target mereka terhadap perjanjian yang sudah dibuat dengan pengusaha. 


Dalam Islam pemimpin selain harus memenuhi syarat iniqod ( laki-laki, merdeka, baligh, Islam, adil dan mampu mengemban amanah) juga ada syarat tambahan yaitu kuat, bukan hanya fisik tapi juga tsaqofah dan keluasan wawasan bernegaranya teruji, berikut takwa, syarat kedua ini mengharuskan pemimpin itu senantiasa menyertakan Allah dalam pekerjaannya. 


Ketiga adalah berkasih sayang, ia haruslah lembut kepada kaum Muslim dan keras kepada orang kafir. Tiga syarat tambahan inilah yang tak dibutuhkan dalam sistem demokrasi. Bahkan kebanyakan pintarpun tak harus, lebih direkomendasikan adalah pemimpin boneka, yang lebih mudah didikte dalam kepimimpinnya. 


Maka perpaduan ulama dan militer sebetulnya tak terlalu berkorelasi dengan bisa tidaknya tujuan bernegara dicapai. Sebab, faktanya negara Indonesia sendiri sudah berkali-kali berganti pemimpin dari kalangan apapun. Militer-pebisnis, ulama-ketua partai, militer-ilmuwan dan terakhir pebisnis-ulama hidup rakyat begitu-begitu saja. 


Artinya bukan persoalan ganti personil, jabatan, latar belakang yang lebih utama dalam kasus mewujudkan kesejahteraan, namun dengan sistem apa para pemimpin itu hendak menjalankan pemerintahannya. Sebab sejatinya pemimpin adalah penerap kebijakan, darimana asal kebijakan itulah yang sangat penting diperhatikan. 


Dari Ibnu Umar RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya..." (HR Muslim).


Maka, pertanggungjawaban di hadapan Allah inilah yang harus jadi pertimbangan memilih pemimpin. Sebab kita tahu, ketika salah dalam memilih pemimpin kita semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, sangat wajar sebab rusak bahagianya rakyat adalah bagaimana pemimpin mengeluarkan kebijakannya. 


Jika kebijakan yang dikeluarkan dari manusia, tentu akan menciptakan kesengsaraan sebab manusia lemah. Maka haruslah memilih pemimpin yang ia bersedia melaksanakan aturan dari Allah Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta ini. Tentu tak ada kesalahan, pun sesuai dengan keimanan bahwa tiada Tuhan selain Allah. Wallahu a' lam bish showab. 






Komentar

Postingan Populer