Awas! Politik Balas Jasa

 


Mungkin berita ini agak basi, namun bukan tanpa maksud kalau penulis ingin menulis lagi. Sebab dampaknya terasa makin menghimpit sebagaimana sabda Rasulullah saw , “Jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR Bukhari).


Jauh panggang dari api, rakyat mendamba sejahtera namun hanya harapan kosong yang hadir. Presiden Jokowi resmi mengenalkan menteri-menteri barunya. Ini adalah reshuffle kabinet pertama Jokowi untuk Kabinet Indonesia Maju. Dari 6 menteri yang diumumkan publik sebetulnya sudah bisa menebak jika suatu saat mereka akan mendapatkan jatah jabatan.


Inilah politik balas jasa. Meski manuver politik mereka sungguh tak manusiawi dan menciptakan gelombang kekecewaan akibat pendukung merasa dikhianati terlebih dari mak-mak militan, namun hal ini adalah sebuah keniscayaan jika sistem demokrasi yang jadi sistem politiknya.


Tak ada kawan atau lawan sejati, yang ada hanya kepentingan sejati. Dan ironinya rakyat masih percaya bahwa sistem ini kelak akan membawa perubahan lebih baik, sekali-kali tidak. Sebab jika kepentingan yang berjalan maka urusan umat akan tertinggal di belakang. 


Ramai di media sosial "drama" ala Mensos, Tri Risma Harini, yang blusukan, keluar masuk gorong-gorong, menemui gelandangan di tempat yang tak pernah ada gelandangan sebelumnya, dikemudian hari ternyata hanya settingan, namun tetap sang gelandangan mendapatkan pekerjaan semudah menjentikkan jari. Hanya karena " berbincang'' dengan menteri. Sementara ribuan sarjana menangis darah sebab ijasah lusuh tak berarti pekerjaan tak kunjung didapat. 


Bagaimana mungkin demokrasi masih mendapatkan tempat di hati rakyat sedangkan di negara kampiun pengemban demokrasi, AS, telah dicampakan karena merasa di-PHP. Mengapa bisa demikian? Alasannya karena demokrasi cacat sejak lahir, ia berasal dari pemahaman memisahkan agama dari kehidupan, sekular. 


Mereka bukan meniadakan Tuhan Sang Pencipta, namun mereka membuang Tuhan sebagai pengatur. Otak manusia dianggap lebih jenius menemukan solusi bagi persoalan hidup. Jika benar demikian, mengapa banyak orang menyelesaikan persoalannya dengan bunuh diri? Mengapa kesenjangan ekonomi kian melebar? Mengapa ada desa tertinggal? Mengapa ada aborsi, seks bebas, mati karena narkoba, miras dan obat psikotropika?


Jawabannya pasti mereka adalah lemah. Secara alamiah mereka tereliminasi. Jadi, demokrasi ketika bersimbiosis mutualisme dengan kapitalisme justru menciptakan hukum rimba, siapa kuat dia menang. Padahal Allah sendiri menciptakan segala sesuatu berpasangan, ada pria ada wanita, ada lemah ada kuat, ada siang ada malam, ada kaya ada miskin. Apakah Allah tidak adil? 


Bukan, semata untuk kebaikan manusia itu sendiri, sebab telah datang perintah untuk saling membantu, QS Al-Maidah :2, yang artinya: "Tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran."


Persoalan negeri ini yang kian hari kian menghimpit semestinya bisa diakhiri dengan sistem dari Sang Maha Hidup. Terutama bagi kaum Muslim yang kewajiban menerapkan Islam secara Kaffah ada dipundaknya, apapun kelompoknya tak perlu menjadi masalah besar selama Islam menjadi pemersatu. Sebab ketika kekuasaan ada pada orang-orang yang lemah ketakwaannya dan tak merasa sedang diawasi Allah ia akan bertindak zalim. Wallahu a' lam bish showab.




Komentar

Postingan Populer