Gambaran Relijius yang Terberangus

 



Beberapa Minggu ini ada berita yang terus menerus diunggah, yaitu berita tentang seorang artis pemeran " Eiffel I am in Love" , Shandy Aulia. Entah berasal dari mana, kini setiap berita yang memberitakan dirinya fokus pada ayah, ibu dan beberapa saudaranya. Terutama menyangkut " keyakinan" mereka yang berwarna-warni ( idn Times, 17/9/2020).


Dan entah pula apa maksud media memberitakan secara berturut-turut hingga hari ini. Diberitakan bahwa Sandy adalah sosok mandiri. Tak hanya itu, ia pun memilih keyakinan yang berbeda dari keluarga besarnya. Hidup dalam dua agama membuat Shandy dan keluarga telah merasakan tolerasi selama berpuluh tahun lamanya.


Sang ayah, yang dikenal religus pun sangat menghargai keputusan Shandy. Keduanya tak pernah bertengkar walau menyakini agama yang beda. Dari sinilah penulis merasa sedikit terpanggil untuk menjelaskan makna relijius secara benar. Sebab, ada kesan yang hendak dikaburkan antara relijius dalam makna yang sebenarnya dengan relijius yang dimaksud oleh kaum liberal yaitu moderasi Islam. Mengingat Sandy adalah publik figur, yang sederhana, tidak neko-neko dan mampu " menjembatani" perbedaan yang terjadi dalam keluarganya. Sehingga harapannya bisa menjadi rule model bagi generasi yang mengidolakannya. 


Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Suparlan, 2010). Terlebih lagi bagi seorang Muslim, Allah telah mensifati makna re lijius ini dalam Quran Surat Al Kafiruun : 1-6. 


Namun jika dikaitkan dengan konteks orangtua kepada anak, pantaskah disebut religius dan toleransi? Sebab orangtua diberi amanah anak adalah untuk memberinya kasih sayang berupa pendidikan. Tentu pendidikan yang utama adalah mengenalkan Allah dan RasulNya, agamanya dan kemudian ilmu kehidupan atau pengetahuan umum. 


Sebuah keluarga essensinya adalah tempat mencetak generasi Rabbani, dengan kolaborasi antara suami sebagai Qowwaman dan Istri sebagai Ummu wa Rabbatul Bait sehingga terciptalah rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Lantas, jika sebagai kepala keluarga membiarkan begitu saja anak gadisnya berpindah agama malah bermakna ia tak tahu kewajiban sebagai ayah sekaligus hamba Allah? 


Namun, inilah fakta yang memang miris, di saat pemahaman kaum Muslimin terhadap agamanya luntur, negara turut memperlemah dengan mengadopsi aturan sekuler, alias meniadakan agama dalam kehidupan umum. Agama hanya dibahas dalam ranah privat, sehingga ketika ada anggota keluarga yang murtad dianggap biasa. Landasan hukumnya adalah Hak Asasi Manusia ( HAM).


Dan pemurtadan adalah goals dari para pengusung liberalisme, mereka berusaha memoderasi ( membuat Islam tengah-tengah) Islam agar tampak " Tidak merepotkan" bagi pemeluknya, dengan ajaran dan ibadahnya, dengan syariat dan simbolnya. Dengan kata lain Islam diseret untuk lebih sesuai zaman. Padahal jelas upaya mereka malah membawa manusia menuju abad kemunduran. Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:


Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” [QS. Ibrahim: 1].


Islam datang telah menjadi sesuatu yang termutakhir hingga akhir zaman, Maka tak perlu dimoderasi dan disesuaikan.  Justru kita manusianya lah yang harus ditundukkan. Menganggap Islam ketinggalan zaman adalah sebuah kesombongan. Maka, mari dudukkan perkara pada tempatnya. Jika ada seorang ayah dan anak yang duduk bersama namun meridhai sang anak murtad padahal ia bisa menghalangi, itu bukan disebut relijius, namun sedang mengarah dijalan berliku menuju siksa api neraka. Wallahu a' lam bish showab.


Komentar

Postingan Populer