Hilang Penghormatan, Hilang Empati





Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai cara terbaik untuk menangani jenazah pasien positif virus corona (Covid-19) yakni dengan cara dibakar ketimbang dimakamkan. Hal itu bertujuan agar virus corona yang menginfeksi jenazah turut mati karena terbakar api. "Yang terbaik, mohon maaf saya muslim ini, tapi secara teori yang terbaik ya dibakar, karena virusnya akan mati juga," kata Tito saat mengisi sebuah Webinar yang dipublikasikan oleh Puspen Kemendagri, Jakarta (CNN Indonesia,22/7/2020).

Meski demikian Tito menyatakan cara seperti itu kemungkinan akan menuai pro dan kontra di tengah masyarakat Indonesia. Ia lantas menyarankan bila tetap dilakukan penguburan secara konvensional, maka protokol kesehatan penanganan jenazah harus dikedepankan. Mulai dari jenazah wajib dibungkus secara rapat dan tak diperbolehkan ada celah sedikitpun saat proses pemulasaran. Diketahui, Kementerian Kesehatan RI sendiri telah menerbitkan protokol penanganan jenazah pasien Covid-19. Protokol tersebut diatur lewat Kepmenkes Nomor HK.01.07/ MENKES/413/2020 tentang Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease. Keputusan itu baru diteken Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 13 Juli lalu.

Tak henti-hentinya pemerintah memunculkan polemik. Meskipun sudah tahu dampaknya namun tetap saja dilakukan. Menghilangkan empati dan makin melunturkan kepercayaan umat bahwa benar negara hadir melayani sepenuh hati. Belum hilang kepanikan dan kesedihan masyarakat ditambah lagi dengan munculnya berita ini, entah apa yang dimau. Yang jelas, apa yang sudah menjadi maklumundin (hal yang sudah lazim dalam Islam) kembali diusik dan dipersoalkan. Padahal sebelumnya juga tidak masalah dengan protokol pemakaman yang sudah ditaati masyarakat.

Ungkapan mendagri juga makin menegaskan bahwa selama ini pemerintah sibuk membangun paradigma yang salah terkait status mereka yang positif pasien Covid-19. Yaitu anggapan seolah-olah aib, padahal virus itu tak pandang bulu ketika menempel pada manusia dan kemudian menyebabkan kematian. Bukan hanya yang berstatus rakyat biasa, dokter atau pejabat sekalipun tak bisa mengelak pada  akhirnya mereka terpapar. Hampir sama penerimaan masyarakat pada pasien positive Covid-19. Banyak berita yang mengabarkan pengusiran dan bahkan hingga penolakan pemakaman jenasahnya di tanah kampung mereka. Berbeda perlakuan kepada pasien HIV/ AIDS yang justru pemerintah menganjurkan untuk dekat dan menganggap mereka bagian dari masyarakat.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), belum ada bukti bahwa mayat dari orang yang trinfeksi virus corona bisa menularkan Covid-19. Oleh karena itu, mereka yang meninggal karena virus corona bisa dimakamkan berdasarkan tradisi budaya dan agama yang dianutnya.Tapi, hal tersebut harus dilakukan dengan tindakan perlindungan yang tepat. Pasalnya, virus tetap bisa berada di tubuh manusia yang telah meninggal selama 24 jam. Penularan bisa terjadi jika ada proses otopsi paru-paru pasien yang tidak ditangani dengan benar. Jadi, orang yang meninggal karena Covid-19 masih bisa disemayamkan sesuai budaya dan keyakinannya. Risiko infeksi bisa saja terjadi jika terkena cairan tubuh atau sekresi yang keluar dari tubuh mayat ( Kompas.com, 15/4/2020).

Jika tidak ada kedarurat pengurusan jenasah harus dibakar lantas membuat wacana yang demikian. Inilah bukti bahwasannya kepanikan pemerintah telah sampai pada puncaknya, berbagai tekanan yang terjadi membuat pemerintah memilih jalan pintas dan tes case tak manusiawi. Sebab bagi muslim mengurusi jenasah telah ada tuntuannya secara rinci, termasuk jika berada pada saat darurat. Sekali disyariatkan maka pantang kita sebagai manusia yang meyakini semua berasal dari Allah SWT tentu tak akan menyelisihiNya. Bagaimanapun syariat datang untuk memudahkan manusia. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

Postingan Populer