Upik Abu Pengentas Kemiskinan






Tentu kisah Upik Abu sudah bukan cerita asing di negeri ini. Kisah imaginasi yang mengharu biru, menjadi idola sepanjang masa. Sebab menceritakan perjuangan seorang yang piatu,papa, miskin, hidupnya penuh liku dan kesengsaraan.  Namun di akhir cerita berbalik 180 derajat sebab telah bertemu dengan pangeran impian. Dan kemudian bahagia selamanya.


Banyak lagi kisah semisalnya. Ada Cinderella, Rapunzel dan lain-lain. Dan kini, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengusulkan kepada Menteri Agama Fachrul Razi agar menerbitkan fatwa tentang pernikahan antar tingkat ekonomi. Menurut dia hal ini bisa mencegah peningkatan angka kemiskinan (TEMPO.CO, 19/2/2020).


Menurut Muhadjir, ada ajaran agama yang kadang-kadang disalahtafsirkan. Di antaranya mencari jodoh yang setara. “Apa yang terjadi? Orang miskin cari juga sesama miskin, akibatnya ya jadilah rumah tangga miskin baru, inilah problem di Indonesia.” Sehingga ia menyarankan Menteri Agama membuat fatwa. “Yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin," tutur Muhadjir dalam sambutannya di Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu 19 Februari 2020.


Muhadjir Effendy juga terus menginisiasi wacana sertifikasi pranikah agar tidak memunculkan keluarga miskin baru di Indonesia. Program ini menurutnya sudah diterapkan di Korea, Malaysia, dan Singapura. Pasangan yang belum kuat secara ekonomi harus melalui program kartu prakerja yang dicanangkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. “Tujuannya agar setelah menikah mereka menjadi rumah tangga yang mapan secara ekonomi.”


Mudahnya Muhajir Effendy berbicara, seakan begitu membalik tangan keadaan sudah bisa langsung berubah. Happly ever after. Apakah beliau sadar sepenuhnya akan konsekwensi perkataannya?


Yang patut dikritisi pertama, soal fatwa. Dalam Islam sangatlah jelas bahwa hukum setiap perbuatan mengikuti hukum syara. Yaitu halal, haram, Sunnah, mubah, makruh dan haram. Sehingga setiap hendak melakukan sebuah perbuatan setiap individu diharapkan sudah paham apa hukumnya. Lantas jika dikaitkan dengan ide mengeluarkan fatwa pernikahan antar tingkat ekonomi akankah sesuai syariat dan bisa mendatangkan keberkahan?


Jelas ada kesalahpahaman disini. Sebab sebuah pernikahan adalah salah satu hukum syara yang sangat dianjurkan dalam Islam. Tujuan pernikahan secara syariat juga bukan untuk kaya dan maksud hadist Rasulullah sendiri untuk menikahi yang sekufu. Bukanlah setara derajat pangkatnya. Sebab, Rasulullah tak pernah melarang pria muslim menikahi wanita manapun dan bagaimana kekayaannya maupun statusnya.


Semisal anak lelaki Khalifah menikahi  putri tukang sapu atau sebaliknya. Sekufu yang dimaksud disini adalah  sebagaimana yang  dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma‘ad , yang dianggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama).


Dan pernikahan bukanlah bertujuan untuk kaya. Pernikahan adalah memenuhi separoh agama. Artinya untuk beribadah. Melanjutkan generasi Islam dan kemaslahatan umat.  Sehingga syariatnya berbeda dengan pengentasan kemiskinan. Kemiskinan berhubungan dengan sistem politik dan ekonomi yang diadopsi sebuah negara.


Meskipun miskin dan kaya adalah qodratullah, namun Islam menjadikannya berimbang , bukan malah jadi batu sandungan sebagaimana yang disampaikan beberapa menteri kabinet Indonesia besutan Jokowi. Orang miskin dilarang sakit, diminta kurangi makan beras, tanam cabe sendiri, BPJS naik tarif, cabut subsidi hingga harus menikah dengan orang kaya supaya kemiskinannya hilang.


Apakah kemiskinan di negara ini semata-mata karena kesalahan individu? Kita ambil contoh saja dari data impor beras yang sempat viral beberapa waktu lalu. Kepala Bulog Budi Waseso mengatakan bahwa persediaan beras ditanah air cukup. Namun menteri perdagangan, Enggartiasto Lukita,  justru impor. Akibatnya, beras lokal menumpuk, bahkan membusuk. Padahal ada jatah warga miskin. Akhirnya apakah mereka sejahtera?


Belum lagi dengan kenaikan tarif premi BPJS. Untuk yang tarif sebelumnya saja tidak terjangkau, sering menunggak karena berebut dengan kebutuhan makan, kini dinaikan. Apakah mereka sejahtera?


Dan masih banyak fakta kasus yang membuat kaum miskin babak belur memenuhi kebutuhan hidupnya. Dimana peran negara? Lapangan pekerjaan dipersulit, gelombang PHK terus terjadi sebab banyak perusahaan gulung tikar, kalah saing akibat kebijakan pasar bebas.


Tak ada cerita real Upik Abu dalam masalah pengentasan kemiskinan. Sebab Islam telah sedemikian rinci memberikan solusi. Tinggal kita yang mengakui beriman maukah menerapkan atau tidak.


Maka, jelas masalah kemiskinan ini akarnya ada pada kebijakan yang diambil pemangku jabatan di negeri ini. Mereka bekerja bukan atas nama rakyat, koorporasilah yang mereka bela. Dalam Islam sungguh inilah kejahatan yang nyata. Sebab imam atau pemimpin fungsinya adalah sebagai Junnah (perisai) dan Ra'in ( pengurus) umat. Sebagaimana sabda Rasulullah berikut:

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).


Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Rasulullah saw memerintahkan mereka untuk memberi nasehat kepada setiap orang yang dipimpinnya dan memberi peringatan untuk tidak berkhianat.


 Imam Suyuthi mengatakan lafaz raa‘in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Setiap kamu adalah pemimpin” Artinya, penjaga yang terpercaya dengan kebaikan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya.


Maka, selama penguasa hari ini masih berpegang pada sistem sekulerisme dalam mengatur rakyat maka selamanya jurang kemiskinan akan nampak dan rakyat tak akan sejahtera meskipun banyak pasangan kaya miskin telah dinikahkan. Wallahu a' lam bish Showwab.

Komentar

Postingan Populer