Menimbang Berat Ringan Pajak




Wacana pajak tak pernah mengalami sepi untuk dibicarakan. Terlebih setelah booming virus Corona di Wuhan, China. Berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi semua negara, tak terkecuali Indonesia. Dimana posisi Indonesia adalah pengimpor hampir semua produk China. Ketika ekonomi China lesu demikian pula Indonesia.

Kepanikan mulai merayapi setiap benak para menteri kabinet Indonesia maju, termasuk menteri ekonomi, Sri Mulyani yang merasa paling berkepentingan terhadap naik turunnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dan cara tercepat adalah menaikkan tarif pajak sekaligus memperluas obyek pajak.

Seluruh komponen penguasa seakan satu suara, berlomba-lomba mengamini kebijakan Sri Mulyani. Padahal perluasan pajak yang dipungut menyasar obyek-obyek yang tidak strategis bahkan menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

Logikanya setiap barang yang sudah kena pajak, sekecil dan sesepele apapun harganya pasti akan naik, produsen juga tak mau rugi. Ia pasti mengambil untung lebih banyak lagi sebab harga barangnya masih harus dikurangi lagi dengan pajak.

Kondisi rakyat Indonesia yang masih banyak berada di bawah angka kemiskinan jelas pajak menjadi beban. Untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit, ditambah dengan pungutan pajak. Manalah bisa terbayar?


Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengingatkan masyarakat untuk tidak menghindar bayar pajak. Sebab, kata dia, membayar pajak sesungguhnya tidak memberatkan. Ia mengatakan, bagi mereka yang tidak mempunyai pendapatan memang tidak diwajibkan membayar pajak.


Mereka bahkan mendapatkan bantuan dari pemerintah secara nontunai baik untuk pendidikan dan kesehatan. Namun, bagi yang mempunyai pendapatan, kata dia, membayar pajak adalah hal yang wajib. Ma'ruf mengatakan, membayar pajak selain kewajiban juga menjadi amal ibadah kepada Allah SWT.


Sebab, kata dia, membayar pajak juga merupakan perintah untuk menyayangi dan menyantuni sesama warga bangsa (Kompas.com,3/3/2020).

Jelas ini pola pikir yang tidak jelas. Memang rakyat yang tak mampu bayar pajak tak harus bayar pajak, namun, hari ini, hampir semua barang kebutuhan rakyat semua kena pajak, hingga ada wacana asap kendaraan dan minuman berpemanis akan dikenai pajak juga dengan alasan kesehatan.

Seluruh fasilitas umum kena pajak, sebab pendapatan dari pajak merupakan mekanisme yang diambil sebagai pendapatan oleh negara. Ironinya ketaatan membayar pajak kemudian dikaitkan sebagai amal ibadah kepada Allah. Sebab telah berkontribusi menyantuni sesama warga. Ini negara atau yayasan yatim piatu?

Dua hal yang berbeda dijadikan satu. Menyantuni adalah tugas negara namun dari pendapat Ma'ruf Amin menjadi beralih kepada rakyat. Lantas apa fungsi negara?

Inilah perbedaan pandangan kapitalisme dengan Islam. Dalam Islam, pajak memang ada namun tidak dipungut secara kontinyu. Melainkan ketika kas Baitul Maal dalam keadaan kosong. Dan pajak ditarik hanya kepada mereka yang dianggap sudah mampu memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya secara cukup.

Pemungutannyapun tidak sepanjang tahun, hanya hingga kas Baitul Maal terisi kembali sesuai kebutuhan. Pandangan kapitalislah yang kemudian mengubah peranan negara yang seharusnya menjadi Junnah ( perisai) dan periayah( pengurus) umat menjadi regulator alias menciptakan kebijakan untuk kemajuan para kaum milyuner saja, minus rakyat.

Dalam sistem kapitalis, umat dianggap beban, maka harus diberdayakan. Hubungan penguasa dengan rakyat bagaikan pedagang dan pembeli. Sementara dalam Islam, pemimpin diwajibkan untuk menjadi pelayan umat. Apa yang menjadi kebutuhan umat penguasa wajib memenuhinya.

Maka ditetapkanlah oleh syar'i ( Allah) kepemilikan pengelolaan sumber daya alam kedalam tiga kelompok, yaitu kepemilikan negara, kepemilikan pribadi dan kepentingan umum. Sumber daya alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang akan dikelola oleh negara dan kemudian dikembalikan kepada umat baik berupa zatnya atau dalam bentuk pembiayaan fasilitas kesehatan, pendidikan dan ekonomi dan lain -lain.

Dan benar-benar akan menjadi amal ibadah seseorang jika kita semua bersatu mewujudkan penerapan syariat secara kaffah. Sebab hanya dengan itu akan ada perubahan. Penyelesaian dengan Islam jelas akan membawa kepada keadaan yang lebih baik. Wallahu a' lam bish showab.

Komentar

Postingan Populer