Iklas yang Terkikis Kapitalisme





Sore ini sempat bersitegang dengan belahan jiwa. Masalah utang piutang. Beliau menggerutu, semua orang tak sesuai tanggal pembayaran yang seharusnya. Molorlah, gak disiplinlah hingga gak tahu mana yang harus diutamakan begitu gerutunya. Awalnya saya mendengarkan dengan lempeng, tapi lama-lama, karena setiap video call mesti sambatan itu terlontar, jadinya mikir juga.

Utang piutang adalah hal yang wajar, bahkan bisa jadi dialah muamalah tertua setelah barter. Orang-orang pada masa jahiliyah hingga menjadikannya penghasilan dengan mematok bunga berlipat-lipat. Ada riba Fadhli, Riba Qardhin, Riba Yad, Riba Nasi’ah dan Riba Dain (jahiliyah).

Kinipun masih banyak ulama yang memilah-milah utang riba boleh dan tidak. Padahal ayatnya jelas dan gamblang jika utang riba adalah haram. Namun itulah, utang yang konsepnya taawun ( tolong menolong) jadi bergeser seiring dengan kemunduran pemahaman kaum Muslim terhadap syariatnya.

Utang jelas harus dibayar. Kembali sistem muamalah hari ini yang cenderung memisahkan agama dari kehidupan alias sekuler memunculkan kesulitan baru dan pelik pula. Tak ada mengedepankan adab, kebanyakan kasusnya adalah molor bayar tidak sesuai dengan tanggal kesepakatan tanpa akod perubahan atau perbaikan, ditagih malah marah, membayar utang dengan nama orang lain, buka lubang tutup lubang dan lain sebagainya.

Bahkan ada yang terang-terangan bilang," saya gak sanggup bayar, mau jenengan tunggu sampai kapanpun saya tetap tak bisa bayar, Monggo saja kalau mau nunggu", rasanya pengen jambak rambut sendiri. Masih lekat bagaimana si Fulan ini menangis sampai ngesot karena mau pinjam uang, buat bayar SPP anaknya tak ada. Diberanikan diri untuk SMS, padahal baru kenal dua kali karena saya ajak kajian.

Lalu ada yang sudah mau bayar, qodratullah tertimpa bencana, entah rumah ambruk, suami di PHK, kecelakaan, renovasi, anak sakit, dan lain-lain akhirnya tak jadi bayar. Jika begini pastilah buat hati meradang. Saat itulah seperti ada yang muncul dalam hati, jika kita mampu memberi  pertolongan kepada mereka yang membutuhkan berarti Allah pasti juga akan memampukan  menanggung akibatnya, baik buruk maupun baik.

Ada pula yang seharusnya bayar tapi karena anaknya masuk SMA" harus" punya sepeda baru akhirnya batal karena keharusan tadi harus terwujud. Dan benar-benar berubah menjadi lingkaran setan. Tak ada ujung sebab saling mempengaruhi.

Bagaimana menghadapi ini? Inilah titik kritis saat keimanan bermain, apakah diambil kesempatan untuk makin mendekat kepada Allah dengan membiarkannya iklas tumbuh atau justru meradang, meluap-luap hingga mencela sesama saudara Muslim?

Dan lagi-lagi peraturan muamalah hari ini kembali menimbulkan solusi yang parsial bahkan menimbulkan persoalan baru. Terutama hilangnya iklas. Memang uang belum tentu kembali pada saat tanggal yang ditetapkan, namun ketenangan hati seketika menyeruak jika kita berhasil menghilangkan ego dan membantu saudara seakidah. Dan itu hilang, tak berbekas. Manfaat dan egois merajai hati!

Bahwa berkah tak selalu nominal kini lenyap, tertelan dengan standard kapitalis tentang apa itu kebahagiaan. Bagi kapitalisme dengan landasannya kebebasan tanpa batasnya, materi kasad mata adalah rejeki sekaligus berkahnya.

Muncullah profesi debt colektor, centeng, tukang pukul, dan lain-lain. Sebab yang berutang tak tahu adab yang memberi utang juga tak ada keiklasan berikut mahfum utang piutang yang benar. Diperparah oleh sistem hari ini yang memunculkan orang utang akibat tekanan sistem.

Faktanya banyak orang hari ini mengeluh, hidup lebih berat, biaya hidup makin meningkat. Seberapapun orang berusaha menafkahi anak istri tetap saja tak cukup. Sebab hari ini tugas seorang ayah tak hanya menafkahi, namun juga menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan bahkan membiayai negara dengan pajak.

Padahal Allah hanya memerintahkan para suami untuk menafkahi istri dan anak dengan cara yang makruf. Selebihnya ditanggung negara. Dan gajipun tak terpotong pajak penghasilan. Dengan alasan apapun negara batil jika menarik pajak saja guna membiayai operasional negara.  Padahal ada mekanisme pembiayaan yang lebih baik. Yaitu syariat Islam. Dan sungguh menyakitkan ketika uang hasil peras keringat kemudian dibuat foya-foya bahkan dikorupsi.

Banyak pejabat negara dan jaringannya yang dibiayai rakyat namun kerja mereka tak nyata bahkan terus menerus secara sadar menyiksa umat dengan kebijakan yang mematikan perlahan tapi pasti.

Tak semua bisa bertahan dari keadaan yang sempit ini, maka menjadi keharusan kita berjuang mengembalikan tatanan masyarakat yang lebih baik dengan syariat Allah. Jika hal itu belum terwujud, kiranya ikhlaskan segala sesuatu yang tak sesuai dengan harapan.

Sebab Allah tak akan biarkan hambaNya menanggung beban diluar kemampuannya. Tawakal dan iklas kuncinya. Terus berjuang dan berharap dimudahkan dalam segala urusan. Semoga Nasrullah segera mengakhiri kebatilan sistem tak manusiawi ini. Aamiin.



Komentar

Postingan Populer