Challenge Until Tomorrow, Bagaimana Jika Hanya Until Today?






Media sosial memang selalu bergerak, ada saja ide dan kreatifitas yang dimunculkan, demikian pula begitu cepatnya arus pembebek mengikuti. Tanpa tahu apa manfaat dan ruginya. Sungguh watak milinealis tulen, apapun OK, masuk akal dipikir kalau ingat. 

Viral di media sosial Instagram dengan tanda tagar baru bernama #untiltomorrow.

Until Tomorrow Challenge merupakan sebuah tantangan yang dilakukan oleh pengguna Instagram dengan menyukai (like) unggahan foto pengguna lain sembari menyertakan caption until tomorrow.

Kemudian, pengguna lain akan mengirimkan direct message (Dm) kepada pengguna yang telah meyukai fotonya, untuk mengunggah foto dengan gaya lucu atau memalukan.

Foto itu nantinya akan terpampang di feed Instagram dan dihapus dalam waktu 24 jam ke depan ( kompas.com, 30/3/2020).

Ratusan foto bermunculan , bahkan menjadi topik utama di berita media online. Dari mulai artis top Internasional, Nasional hingga rakyat biasa. Seolah terlupakan adanya derita dunia akibat terpaan virus Covid-19.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa masih saja masyarakat kita latah mengerjakan pekerjaan yang tak ada faedahnya? Jika sekedar lucu-lucuan, apa belum cukup kelucuan mereka dengan tertawa di tengah penderitaan. Situasi makin tak pasti, selama ini pemerintah hanya sanggup perpanjang sosial distacing.

Namun gerakan itupun tanpa bantuan berarti dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah kalang kabut mencari solusi sendiri-sendiri. Padahal kita punya ibu ( negara) mengapa segala sesuatu masih mencari sendiri?

Ada pendapat bahwa bahagia bisa menambah imunitas seseorang, namun beradabkah jika bahagia itu di dapat dari menertawakan foto seseorang yang lucu bahkan konyol, atau culun bahkan tanpa penutup aurat sempurna?

Aroma liberalisme kental menyusup pemikiran generasi hari ini. Mengunggulkan syahwat, demi eksistensi diri. Namun dengan cara sekular, alias memisahkan agama dari kehidupan. Alhasil, jika landasan berbuatnya saja sudah salah, bagaimana bisa menjadi bangunan kepribadian yang kokoh?

Pada masa Islam memimpin peradaban agung, anak muda tak sedetikpun terlenakan dengan kepalsuan dunia. Waktu mereka begitu berharga, sehingga mereka isi dengan berbagai ilmu agama, tsaqofah, fiqih, hadist dan berbagai ilmu yang sangat berguna bagi hidup mereka.

Visi misi hidup mereka jelas, yaitu beribadah kepada Allah. Secara sadar mereka beriman bahwa kesempurnaan akal dan jasadiyah bukan malah disia-siakan dengan amal remeh remeh.

Sejarah tak akan ingkar, bagaimana seorang Harun Al- Rasyid, Salah satu Khalifah dari Bani Abbasiyah. Di usianya yang baru 22 tahun telah sukses mengukir kesuksesan sebagai seorang pemimpin Islam dan penerap syariat.

Harun Al-Rasyid membangun perpustakaan yang kemudian dikenal dengan nama Baytul Hikmah, dan kelak dilanjutkan oleh anaknya, Al-Ma’mun. Baytul Hikmah menjadi cikal bakal kegemilangan dunia ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam. Naskah dari Yunani, Cina, Sanskrit, Persia, dan Aramaik diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pakar Islam, Yahudi, Nasrani bahkan Budha pun berdatangan dan mengkaji ilmu pengetahuan dan berdiskusi di Baytul Hikmah.

Semua hanya karena tujuan menerapkan perintah Allah untuk membaca 'Iqra'. Berbeda sekali dengan hari ini. Sudah sedemikian jelas Allah berfirman dalam surat  AL MUMIN:64

"Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezeki dengan sebahagian yang baik-baik. Yang demikian itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam".

Dengan pongah mereka menjadikan apa yang telah sempurna diciptakan Allah sebagai bahan olok-olok, bahkan menjadi komoditas tayangan dan acara di media televisi dan lain-lain. Padahal satu dari kita tak ada yang punya waktu lebih banyak, satu detik sekalipun. Yakinkah akan hidup hingga esok hari, sementara hari ini tak ada jaminan bakal selesai hingga 24 jam?

Lantas pernahkah terpikir jika usia kita hanya today, sementara Covid-19 until tomorrow, cukupkah amal ibadah kita?

Hendaknya kita mulai bermuhasabah, bahwa segala bencana ini memang sudah Qadha Allah yang tak bisa dihindari, namun disisi lain jika Allah mengijinkan untuk terjadi pastilah ada tujuannya, yaitu kembali kepada Allah. Taat, tunduk, patuh dan terikat dengan syariatNya secara keseluruhan ( kaffah).

Allah berjanji akan mengubah suatu kaum jika kaum itu mau merubah dirinya sendiri. Dengan apa kita merubah? Dengan pertaubatan yang sungguh-sungguh. Tak sekedar terucap namun juga dilakukan. Salah satunya dengan mencampakkan aturan manusia yang bertahun-tahun me Garut manusia itu sendiri namun tak pernah sampai diujung yang membahagiakan.

Covid-19 sama-sama disebut makhluk dengan manusia dihadapan Allah. Namun jika ia menyebar dan menyebabkan disaster panik di semua lapisan masyarakat tentu manusia yang memiliki tambahan akal mampu mengatasinya. Dan hal itu hanya bisa terselesaikan tanpa menimbulkan persoalan baru adalah dengan syariat. Bukan yang lain.

Termasuk berbagai penyakit masyarakat yang memang tak menyangkut sakit fisik, namun pengakuan terhadap keberadaan Allah Sang Khalik dan Mudabbir ( pengatur) yang mulai mendua, tergeser dan mendua. Wallahu a'lam bish showab.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer