Ketika Peraduan Beranjak Dingin



Pagi begitu terasa dingin, pukul 06.00 seperti biasa jadwal antar anak sekolah. Udara yang masuk kehidung terasa menusuk dan menyisakan dingin.

Melewati sebuah pabrik, terlihat berkerumun orang, ternyata jam keluar pabrik untuk shift malam. Dan terlihatlah pemandangan yang menyedihkan. Para pekerja wanita keluar dan langsung mendaratkan pantat di boncengan sepeda motor suami-suami mereka.

Ah, sepertinya semalam peraduan beranjak dingin. Meninggalkan sepi bagi para suami, tak ada cerita sebelum tidur, tak ada canda tawa menjelang rehat malam, hanya demi sesuap nasi esok hari. Tidur tanpa pengantar, murni hanya berteman bantal dan selimut yang dingin.

Kerasnya kehidupan. Bahkan hingga mengoyak ketentraman " Baiti Jannati". Mungkin romantis itu hanyalah dongeng novel, atau teronggok dalam sobekan koran yang pagi ini jadi pembungkus nasi untuk sarapan. Dan memang, banyaknya wanita bekerja di luar dengan jam yang tidak biasa, telah menciptakan pekerjaan baru bagi pedagang nasi bungkus.

Shift malam tak perlu lagi repot memasak. Beli satu dua bungkus, cukuplah membasuh rasa bersalah karena kewajiban yang tak tertunaikan. Namun pernahkah terbersit pertanyaan, " Apakah memang hidup berkeluarga harus begini?"

Idealisme masyarakat memang siapapun yang sudah sekolah ujung-ujungnya ya harus bekerja. Karena buat apa sekolah kalau gak bisa langsung bekerja. Bekerja apapun bolehlah, daripada mengangggur. Inilah alasan sekolah fokasi begitu favorit dimata ibu-ibu. Meskipun, mereka menjadi buruh, gaji bukan UMR, jam kerja yang tak normal, persyaratan tak sesuai syariat tak mengapa, lebih malu kalau punya anak lulus sekolah gak kerja-kerja.

Dan nada sumbang itu semakin keras, begitu di sekolah mendengar para ibu itu yang terpaksa ambil pekerjaan pria hanya supaya uang dapur gak pas-pasan. Menjadi sopir pengantar ban mobil dimana dia harus keluar kota sekitar dua hingga 3 hari. Bagaimana urusan rumah dan keluarganya? meskipun beliau mengelak tak masalah namun saya yakin jauh dilubuk hatinya pasti ada keinginan untuk berhenti dari pekerjaan itu. Namun bagaimana jika sekolah hari ini mahal?

Kesehatan mahal, otak mesti berputar padahal dompetpun sudah tak berbentuk karena sudah lebih dulu diputar kebutuhan sehari-hari. Ah...perempuan, nasibmu kini. Berbagai UU yang hari ini digodok, diluluskan dan diterapkan samasekali tak mewakili kepentinganmu, namun apa daya? penguasa diam seribu bahasa.

Sungguh, hari ini sudah menjadi urgensitas, bahwa nasib perempuan dan anak-anak tak akan pernah beranjak membaik. Karena sejatinya bukan karena orang-orang yang duduk di pemerintahan itu semata penyebabnya. Namun karena mereka mengatur dengan sesuatu yang tidak sesuai fitrah. Tidak memuaskan akal dan menentramkan hati, yaitu solusi Islam.

Saatnya menyentuh Islam lebih mendalam, yaitu menjadikannya bukan saja sebagai tuntunan salat, namun juga sebagai penyelesai tuntutan kepentingan kaum perempuan.

Komentar

Postingan Populer