Kemiskinan, Salah Makna Salah Urus


Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Sungguh, semakin mendalami Islam makin hati ini bergetar. Membenarkan dengan keimanan yang makin mantab. Betapa Allah benar- benar telah menyempurnakan agamaNya bagi manusia.

Berbagai istilah yang selama ini saya pahami ternyata tertolak. Dan mendapat penjelasannya ketika sudah mengkaji secara lebih dalam. Ironinya tak banyak orang yang menyadari bahwa kesalahan menidentifikasi satu istilah akan berefek kepada yang lain.

Inilah mengapa, kaum muslim wajib cerdas. Karena semua kebutuhan hidupnya sebetulnya sudah ada solusinya. Allah Sang Pencipta manusia telah sekaligus memberikan peraturan hidup bagi makluk ciptaanNya. Ibarat kita beli magic com pasti include manual instructionnya.

Dalam Sistem Kapitalisme, kefakiran ( kemiskinan) dianggap sebagai sesuatu yang relatif dan bukan sebutan untuk kondisi tertentu yang bersifat tetap dan tidak berubah. Karena itu, mereka menganggap bahwa kemiskinan adalah adanya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa. Karena kebutuhan tersebut berkembang dan makin beragam ketika materi sebagai alat pemuasnya juga berkembang. Inilah mengapa pemenuhan kebutuhan mengalami perbedaan pada masing-masing individu dan bangsa.

Bangsa yang terbelakang, yang kebutuhan individunya terbatas bisa jadi pemenuhannya hanya terbatas pada barang dan jasa yang bersifat primer. Berbeda dengan bangsa yang maju secara materi. Dimana kebutuhannya banyak dan tak terbatas. Tentu membutuhkan pemenuhan terhadap barang dan jasa yang tak terbatas pula.

Akibatnya standar kemiskinan di setiap negara akan berbeda. Syeh Taqiyudin An Nabhani mencontohkan tidak terpenuhinya kebutuhan sekunder di Eropa atau Amerika sudah dianggap miskin. Namun di Mesir atau Irak atau kekinian di Suriah atau Palestina tidak terpenuhinya kebutuhan sekunder tapi jika kebutuhan primernya sudah terpenuhi tetap dianggap tidak miskin.  Telah banyak ayat dan atsar ( pendapat para imam/ulama) yang menunjukkan bahwa Fakir maknanya secara syara adalah" ihtiyaj". Maka inilah yang seharusnya menjadi pembahasan pokoknya.

Jika kemudian kita mengambil apa yang menjadi anggapan kapitalisme, jelas akan salah besar. Karena nantinya akan ada perbedaan pandangan. Antar negara, masyarakat bahkan individu. Padahal persoalannya sama, yaitu kebutuhan manusia sebagai manusia. Lebih fatal hukum syara jadi permainan, karena dianggap tidak berlaku disuatu wilayah.

Islam telah menunjukan sebuah solusi yang sempurna. Dengan menganggap kemiskinan dengan standar yang sama. Yaitu bahwa kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan primer secara menyeluruh. Dan syariat telah menetapkan bahwa kebutuhan primer itu adalah sandang, pangan dan papan. Sebagaimana firman Allah :
" Tempatkanlah mereka ( para istri) di tempat tinggal kalian, sesuai dengan kemampuan kalian". Qs ath Thalaq 65:6
Hal ini menunjukkan jika kebutuhan primer tidak terpenuhi dianggap miskin. Orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan sekundernya meskipun kebutuhan primernya sudah terpenuhi tidak bisa dianggap sebagai orang miskin.

Maka Islam menjadikan upaya memenuhi kebutuhan primer serta mengusahakannya untuk orang yang tidak bisa untuk memperolehnya adalah fardu. Jika kebutuhan primernya bisa dipenuhi oleh individu rakyat itu sendiri, maka itu menjadi kewajibannya. Namun jika tidak, maka syariat telah mewajibkan orang itu untuk ditolong oleh orang lain. Baik oleh wali atau ahli warisnya maupun oleh Baitul maal.

Jika melihat fakta hari ini, kemiskinan sebenarnya bukan semata-mata karena rejekinya telah ditentukan oleh Allah namun karena sistem kapitalisme itu sendiri. Beratnya beban rakyat mereka harus menanggung beban hidup semuanya. Bukan hanya sandang, pangan dan papan. Namun juga pendidikan, keamaanan dan kesehatan. Padahal tiga yang terakhir dalam Islam adalah tanggungan negara. Akhirnya terjebak dalam gaya hidup dan bukan kebutuhan. Krisis berlanjut. Dan kesengsaraan yang amat sangat, meskipun kebanyakan kaum muslim hidup di negeri yang subur dan kaya SDAnya.

Maka bisa dikatakan hari ini pemiskinan adalah agenda sistemik. Dan hanya bisa diatasi dengan Sistem Ekonomi Islam. Lebih masuk akal, karena ditetapkan untuk manusia sebagai dia apa adanya manusia. Bisa dibayangkan, jika sistem hidup Islam yang kemudian diterapkan dimasa sekarang, jelas kesejahteraan hakiki akan terwujud. Bukan dengan anggapan tapi menjadi tujuan. Wallahu a'lam biashowab.

Komentar

Postingan Populer